Barusan makan siang di kantin,
nguping obrolan dalam kerumunan yang sedang menunjukkan uang Rp 100 ribu yang ada
gambar ‘palu arit’ dan diantara mereka bilang sekarang ada uang baru kayak uang
cina. Kerumunan itu menyimpulkan bahwa negara ini mata uangnya mulai mengikuti Negara
komunis cina. Masih tentang uang, dalam laman facebook juga pada protes dengan
uang-uang baru khususnya uang Rp.5000 yang kini tidak ada gambar ‘ulamanya’.
Lain sisi tanpa tahu latar belakang
dan proses panjang riuh ramai membahas kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi ke
Negara Iran yang katanya “kunjungan Presiden menyakiti hati umat islam”,
dilengkapi oleh viral Indonesia abstain dalam voting tentang syiria, tujuannya
memperkuan argumen bahwa Negara ini tidak punya hati untuk peristiwa
kemanusiaan di Aleppo.
Begitupula terkait pengamanan
upaya teror yang dilakukan Polisi, sebagai langkah preventif dengan penangkapan
calon pengantin “Perempuan” dinilai sebagai upaya pengalihan isu penistaan
agama, ditmabah bumbu foto, mungkin masa lalu calon pengantin perempuan yang
katanya alisnya dikerok sebagai penguat teori pengalihan isu. Entahlah kalau “Doar”
Bom meledak polisi kita balik caci maki.
Silahkan ditambahkan lagi aneka gorengan
informasi gurih lainnya yang instan dibuat, dimakan dan dicerna mentah-mentah
lalu kita bagikan pada yang lain. Hal yang amat memprihatinkan adalah begitu
reaktifnya kita men-share hal yang belum tentu kebenarannya. Hal yang amat menyedihkan
adalah mereka yang men-share adalah berpendidikan strata tinggi, intelektual,
pengajar/ dosen, tokoh panutan bahkan ustad. Kita lupa jika diera digital ini
berlaku jika membicarakan orang itu ghibah dan informasi yang belum pasti
keshihan kebenarannya kita sampaikan adalah fitnah. Pertanyaannya silahkan cek dalam laman profil
facebook kita, apakah kita pernah mengkoreksi postingan atau meminta maaf jika
telah keliru men-share berita hoax?. Bukankah jika kita berpendidikan dalam
membaca informasi atau berita cek sumber portal beritanya apakah betul-betul
portal legal, berizin, dan betul-betul wartawan ber-id card yang memuat berita
tersebut bukan hantu anonim. Apakah berita itu memuat klarifikasi/konfirmasi
kepada pihak yang disangkakan? Sebagai dasar kaidah jurnalistik cover both side
sebagai langkah agar tidak terjadi fitnah dan pencemaran nama baik. Tapi kenapa
kita lupakan dasar-dasar itu? Padahal zaman kuliah dulu, kita pernah ikut
sekolah jurnalistik.
Ayolah kawan kita pelajari lagi
ilmu rendah hati, jika memang itu bukan keahlian, kapasitas, spesialis keilmuan
kita bukankah lebih baik kita diam. Bukankah jika kita ngomong hal yang bukan
pakarnya kita menyinggung profesi orang lain yang sekian tahun sekolah tinggi
akan satu disiplin keilmuan sama halnya dengan merendahkan mereka, dimana
merekapun sangat hati-hati dalam berkomentar dan membuat statement biar tidak
liar dan mengakibatkan hiruk pikuk.
Rekan, bangsa ini sedang dibelah
sesungguhnya bukan oleh China, Aseng, Syiah, Liberalis, dan lain sebagainya
tetapi oleh jempol-jempol kita yang berlumuran dosa namun sok malaikat.
Percayakan bahwa Gubernur BI dan mereka yang bekerja di BI adalah anak-anak
terbaik bangsa, orang-orang pintar, berpendidikan tinggi, beragama,
soleh-solehah yang tdak sedikitpun tersirat dihati mereka menyelipkan lambang palu
arit atau merubah uang kita mirip yuan sebagaimana tuduhan seenak udel kita.
Diperparah lagi dengan sensitifitas dibuat-buat uang baru gak ada ulamanya. Mbo
ya kita berpikir pahlawan kita puluhan bahkan ratusan banyaknya. Pernahkah kita
sebelum menshare berita terkait mengkonfirmasi pada sahabat kita di BI?.
Sama halnya andai kita sensitif betapa
perihnya hati Menlu dan Diplomat kita terkait ocehan kita dimedia sosial. Sok mengetahui
persoalan di Syiria dan nyinyir dengan kebijakan Luar Negeri, padahal betapa
keras perjungan Korps diplomatik Indonesia di Suriah menjaga ratusan WNI yang
terjebak dalam konflik, khususnya konflik kepentingan. Jika keliru sedikit saja
dalam membuat kebijakan luar negeri maka yang jadi Korban di Syiria bukan hanya
warga Syria tapi WNI yang ada disana. Seenak hati kita bilang Assad penjahat
perang, jika Presiden bilang demikian maka bisa bumi hangus Kedutaan RI dan WNI
disana. Kemudian menyeret-nyeret kepergian Jokowi ke Iran sebagai dukungan
terhadap Iran yang mendukung Presiden Assad, lalu mengkait-kaitkan dengan
syiah. Cobalah kita professional biarkan ini bagian rekan kita yang studi di
Hubungan Internasional kekhusussan kajian timur tengah untuk berbicara dan
bukan kita yang tidak tahu apa-apa menebar info yang mungkin jauh panggang dari
api.
Dan entah mengapa upaya polisi
selalu salah dimata kita. Ingat Jendar Tito sama dengan kita Muslim yang mungkin
kesolehan dan ketaatan kepada Tuhan-Nya melebihi kita. Tupoksinya adalah
menjaga NKRI adalah harga mati, berdiri diatas agama, golongan dan kepentingan
yang ada dinegeri ini. Jangan kita berharap Jendral Tito berdiri diatas
kepentingan kita. Polisi dalam menetapkan dan melumpuhkan teroris tidak
sependek pikiran dan ucapan kita. Kalau kita merasa pintar silahkan perkarakan
apa yang kita rasa Polisi tidak benar. Ayolah bro kalau profesi atau pekerjaan
kita direndahkan atau dilecehkan bukankah sakit hati ini, sakit keluarga yang
dinafkahinya. Beruntung mereka yang kita rendahkan punya daya sabar yang super,
gak seperti kita yang gampang meletup.
Mari kita berinternet sehat,
membagikan kesejukan,. Msa kanak-kanak kita sudah lalu, masihkah ingat dulu
waktu kita kecil berandai-andai jika punya ini bisa itu, jika melakukan ini
bisa begitu. Sama halnya toh apapun postingan kita dalam media sosial
sesungguhnya tak seideal bayangan kita, yang sudah pasti adalah menebar
kebencian dan perpecahan. Kalau kita meresapi statement Panglima TNI Gatot
Nurmantyo yang kita cintai, bahwa kita sedang terjebak dalam perang cyber
tujuan utamanya adalah membelah bangsa ini. Bukan kita menunjuk siapa aktornya
melainkan kita sendiri yang gemar membagi berita hoax sebagai pelaku perpecahan
itu. Resapi dan rasakan sudah berapa postingan yang mengakibatkan kita renggang
hubungan dengan rekan, sahabat, saudara, bahkan keluaraga karena perbedaan
pendapat. Gara-garanya apa pepesan kosong berita hoax dalam jemari kita.
Demi Allah saya menulis ini hanya
karena cinta mati NKRI, dan jujur amat ‘benci’ para penyebar berita palsu.***
foto: http://hibanget.com/dari-hoax-menjadi-hatred/