Ini bulan suci, namun kehilangan magis
kesuciannya… batin saya gemuruh dan resah, entah kenapa anak muda sekarang
sadar atau tidak telah menjelma menjadi generasi “pembunuh” dan “pembantai”.
Kali ini agak keras saya menyebutnya, karena teramat sedih menyaksikan laku dan
polah generasi kekinian, generasi lemmings (ikut-ikutan) yang latahnya juga
diikuti mereka yang usia dewasa, berpendidikan yang berpredikat cerdik
cendikia.
Dalam mendampingi kedua anak saya
yang Balita, hal yang senantiasa saya dengung-dengungkan adalah bagaimana
menjadikan mereka kelak generasi yang berbudi pekerti, akhlak mulia dan mampu
menghargai orang tua khususnya, orang yang lebih tua dan sesama. Masalah kecerdasan
dan kepintaran saya sebut nomor dua, karena bagaimanapun cerdas, pandai namun
miskin etika, budi pekerti, akhlak mulia, tidak mampu menghargai hanya menjadi
generasi saat ini. Generasi pengekor, penghasut, pembenci, kepandaiannya hanya
untuk menghancurkan.
Entahlah sehebat-hebatnya dan
sepandai-pandainya kita jika tidak bisa menghormati orang tua, orang yang lebih
tua, generasi dibawah kita, menghargai perbedaan, kekurangan dan kelemahan
orang lain hanya akan men-tuhankan dirinya, orang lain akan salah dan hanya
dirinyalah yang merasa super benar.
Apa itu generasi “Pembantai” dan “Pembunuh”?,Mudah
bagi saya mengidentifikasi sesorang terkait sikapnya dilihat dari cara ia bermedia
sosial, bagiamana ia berbahasa dan berpola dalam menggunakan Facebook (Fb) dan
tweeter, coba amati dan rasakan kepribadian sesorang dari cara bermedia sosial.
Betapa brutalnya kita “membunuh” seorang anak bernama Afi Nihaya Faradisa, generasi
cerdas, mutiara penerus bangsa, calon penulis handal. Hanya karena ia
memposting tulisan-tulisannya dalam laman FB, yang dari beberapa tulisannya ada
yang plagiasi. Dan mungkin selera tulisannya berbeda dengan selera pada
umumnya. Jika kita lihat fenomena, kita sadar jika ada tulisannya kurang pada tempatnya. Jika kita melihat nomena,
bayangkan anak ini umurnya baru 19 Tahun, baru melepas seragam putih abu-abu,
mampu membuat tulisan yang ciamik, bertutur, enak dibaca, berasal dari keluarga
kurang mampu. Jika dia mutiara kenapa gak kita ‘dekap’, rangkul, bantu, sayangi
dan asah hingga menjadi Mutiara yang semakin berkilau. Tapi malah kita “bunuh”
padahal dia masih kanak-kanak.
Fair saya katakana, jika saya
penulis baik buku, artikel, blogger dalam tulisan yang berserak saya akui sesekali
pernah lakukan plagiasi entah itu mengutip tanpa menyebutkan sumber, mengambil paragraf
tanpa direproduksi, dan sebagainya. Dan entah berapa artikel dalam blog yang
saya tulis dicopy paste orang lain tanpa menuliskan sumber maupun izin. Bahkan
dalam satu kesempatan saya pergoki adik kelas pascasarjana di UI yang mengcopy
tulisan dalam blog saya secara utuh untuk tugas kuliahnya saya tegur hanya ‘cengar-cengir’
serasa tak berdosa. Dan satu kesempatan saya pernah menegur portal berita yang
mengcopy tulisan saya tanpa menyebutkan nama saya atau sumber, sama sekali
tidak merespon apalagi merasa bersalah.
Lantas kenapa seorang anak
bernama Afi kita ‘Bantai’ karena satu postingannya plagiasi. Apa memang kita
tidak pernah berplagiasi dalam Facebook? Kita merasa sok, berapa banyak status
kita adalah copian status orang, status tokoh, lupa menyebutkan sumber,
mengabil foto dalam google, demi sebuah decak kagum orang lain.
Sudahlah jika Afi adalah anak
kita, dan kita sebagai orang tuanya hanya karena sebuah postingan lalu dihukumi
sedemikian rupa. Bukankah kita pernah merasakan jika kita melakukan 1000
kebaikan, lalu 1 kali kita berbuat kesalahan, lalu satu kesalahan tersebut
menutup 1000 kebaikan yang kita buat, apalagi satu kesalahan itu
digembar-gemborkan, bukankah sakit? Namum kenapa kita berbuat itu pada seorang
anak.
Kenapa kita persoalkan karena Afi
dibesarkan media, banyak diundang dan terkenal. Persoalannya kenapa lantas kita
iri, sayapun akan senang jika saya menulis, lalu tulisan saya dipublikasikan
banyak orang, hingga diundang media, dan kepala Negara, maka dengan senang hati
saya akan datangi. Persoalannya apa yang bisa kita jual dengan diri kita? Mungin
hanya baru bisa menjual kebencian dan rasa iri.
Sudahlah kita sucikan kembali
puasa kita, berkaca diri, karena kitapun bergelimang dosa…. Mari kita
sempurnakan dan tak perlu berlebihan ‘mengurusi’ orang lain.
Terakhir, tips bermedia sosial: “
Jika suka dibaca, tak suka ya jangan dibaca, jangan teralalu usil….”***
Gambar : http://www.tribunnews.com/regional/2017/01/08/polisi-ringkus-kakak-pembunuh-sapriyadi