Dalam beberapa kesempatan saya bermenung, kok rasanya
3 tahun kebelakang ini “Aktivitas” semakin menurun. Gairah untuk mendapatkan
side job baik itu menulis, meneliti, mengajar, memberi pelatihan turun drastis.
Bukan karena kurangnya tawaran atau kesempatan, namun entah kenapa saat ini
malas…, enggan manggung, enggan beranjak dari rumah.
Satu sisi memang keterikatan waktu sebagai pegawai negara,
ditambah sistem presensi yang mewajibkan duduk dari jam 07.30-16.00
mengakibatkan saya pensiun sebagai Dosen ditahun ini, setalah 10 Tahun mengajar.
Beberapa undangan jadi narasumber tentang CSR juga pada akhirnya saya
tolak karena memang berbarengan dengan jam kerja. Disamping pertobatan saya
dulu-dulu melakukan “Korupsi Waktu”. Ada rekan yang kerap menawarkan saya
untuk mengajar atau memberikan slot
training CSR di hari Sabtu dan Minggu, juga saya tolak. Alasannya sama
karena malas keluar rumah.
Dalam lamunan saya membandingkan betapa hebatnya
rekan kuliah, adik tingkat, patner trainer yang saat ini profesinya kian
matang, menjadi diplomat, jam terbang pelatihannya kian tinggi, klien jasa
konsultasinya merambah perusahaan multinasional, tulisannya menembus aneka
jurnal, bahkan mewarnai Koran nasional. Sedangkan saya semakin menjauhi Jakarta,
hinggap di Kota Serang dan sekarang pulang kampung di Pandeglang, menjauh dari
peredaran keramaian hehe... kebetulan memang lokasi kantor juga di Kabupaten sejuk
ini.
Tumbuh juga pertanyaan apa memang masa emas saya sudah lewat? Saat dulu kerja di
konsultan Kota Bandung di usia 26 disitulah saya memahami apa itu kinerja,
berharganya waktu kapan pun meeting siap, jam berapapun diminta progress
pekerjaan siap, berangkat menemui dan paparan ke klien siap. Saat bekerja
diperusahaan Asing mengelola CSR betapa bangganya menjadi kepercayaan
perusahaan dalam melakukan kajian Social Assessment (SIA), hampir tiap pekan
terbang lintas pulau Kalimantan memberikan rekomendasi terhadap lahan yang akan
dibeli perusahaan dalam aspek sosial, jika rekomendasi yang saya susun
dinyatakan tidak layak, maka batal perusahaan mengakuisisi. Betapa produktifnya
Tahun 2009, 2010, 2011 menulis dan menerbitkan buku. Bahkan buku Panduan
Praktis CSR kini tandas, banyak permintaan pembeli via sms, WA atau e-mail yang
tidak bisa saya penuhi karena stok habis. Padahal jika lihat peluang saat ini
kesempatan menerbitkan edisi revisi begitu besar.
Lantas saya curhatkan situasi “Kemenurunan” saya ini kepada
Kakak. Saya bilang kok malas sekali kaki ini untuk melangkah keluar rumah, menjemput
aneka peluang, tak seenergik dulu. Lalu kakak menunjuk anak pertama saya yang
umurnya 5 Tahun, lihat Aiman dia sudah pandai membaca, Sholat wajibnya tak
putus, membaca Al-Qurannya sudah mulai lancar, perangainya macam orang dewasa.
Berbahagialah tanpa sadar jikalau waktumu itu sebenarnya sedang untuk dia,
bukan untuk orang lain dulu. Coba bandingkan dengan anak seusianya. Hal itu
yang membuatmu malas melangkah keluar rumah, karena kamu sedang membersamai
masa emas anakmu.
Ah memang itu kunci jawaban betapa nyamannya saya dirumah
dan menegasikan ekesistensi yang lain. Satu sisi memang ini menjadi ancaman
terhadap profesi, karir bahkan jaringan. Sisi lain kenyamanan membersamai
tumbuh kembang anak adalah hal yang tak akan pernah ada perulangannya, dan
kelak menjadi memori sepanjang hidup anak. Entah dalam benak ini yang tersirat
hanyalah anak, anak, anak.
Dan saat menulis ini saya tersadar bahwa kemenurunan
eksistensi kini justru untuk kualitas kehidupan dunia akhirat anak kelak.
Memang kurang nikmat dan bersyukur apa saat ini, tinggal berkhidmat membersamai
Ibunda, bangun Shalat subuh beranjak ke Mushola bersama Aiman, habis itu
mengajarinya Iqra, menyuapi, memandikan lalu bermain bersama adiknya Aisyah, lalu
beranjak menuju kantor jam 07.15.
Memang rutinitas ini saya jalani 3 (tiga) tahun terakhir, dan
begitu nikmatnya membersamai tumbuh kembang mereka, bukan hanya menonton
melainkan menyelami suasana hati mereka. Saya baru paham, jika waktu dengan
mereka sangatlah pendek. Jika sudah menginjak usia SD, SMP dan level berikutnya
mereka akan sibuk dengan urusan mereka sendiri. Sebagaimana rekan-rekan kantor
yang kini mulai mengantarkan anaknya beranjak menuju pesantren, dan sejenisnya
yang tentunya kian berjarak dengan sang anak.
Biarlah saat ini fase saya membersamai anak, menikmati
kehangatan berkasih sayang, memeluknya, mengajarinya Iqra, membaca, mendongeng,
mendengarnya berceloteh, bermain, berjalan bersama, menyuapi, dan
memandikannya. Karena kelak setelah 7 tahun hatinya sudah terbagi untuk
sekolah, untuk temannya, untuk lingkungan, untuk mimpinya dan untuk dirinya.***