Sebelum beranjak ke peraduan, semalam saya dan istri
berbincang serius tentang bagaimana mendidik dan mempersiapkan kehidupan
anak-anak kedepan. Kami bermufakat sangat teramat takzim kepada keempat orang tua kami, sambil mengingat
bagaimana Bapak dan Ibu begitu luar biasa menuntaskan amanah membesarkan 8 anak,
begitupun mertua membesarkan 7 orang anak, semua dilakukan secara paripurna.
Saya memaknai “paripurna” artinya dalam segala macam keterbatasan masa lalu
kami sebagai anak-anak guru mereka mampu mencukupi segala hal; makanan, ilmu
pengetahuan, ilmu agama, akhlak, hingga ilmu kehidupan. Dengan paripurna tanpa
warisan harta sepetak tanah-pun, tak ada anak yang putus sekolah, bahkan
masing-masing berjuang hingga mendapatkan gelar doktor di negeri orang, tak
putus menjalankan kewajiban agama, dan
satu hal tak kenal kata putus asa. Dan yang paling utama adalah ikatan keluarga
terbentuk begitu kokoh, saling menguatkan, memotivasi, dan berkompetisi dalam
kebajikan. Alhamdulillah dalam titipan amanah rizki, sudah 3 tahun berjalan zakat
yang dikumpulkan keluarga tersalurkan kepada lingkungan keluarga besar dan
tetangga baik dalam bentuk bahan pokok, perlengkapan sekolah, hingga beasiswa.
Begitupun setiap berkurban sudah menjadi tradisi patungan keluarga
mempersiapkan hewan kurban terbaik untuk dibagikan sekitar rumah.
Nah, yang menjadi point apa yang kami lakukan adalah
bukanlah dengan sendirinya, melainkan hasil kerja keras bagaimana Bapak dan ibu
kami mendidik pada masa lalu. Kami sadar mereka bukan pembelajar parenting sepotong
sepotong di media sosial, apalagi pembaca google sebagaimana kita mengkonsultasikan
segala hal ihwal kepadanya. Bapak memang seorang kutu buku, yang khatam segala
jenis kitab dan Ibu adalah bahu sesungguhnya kami yang limpahan kasih sayangnya
tak pernah mengering, sehingga melahirkan anak-anak bermental baja.
Dan saya bersama istri sedang mengingat-ingat bagaimana
sesungguhnya bapak-bapak dan ibu-ibu kami mendidik pada masanya, padahal kami
baru Allah anugerahan 2 (dua) anak manis terkadang sering mentok bagaimana
caranya agar mereka rajin sholat, peka, disiplin, resik, tanggungjawab. Apalagi
terkait mengelola emosi yang sering kali jebol, padahal Bapak dan Ibu kami
khatam dengan 8 anak.
Duh Gusti nu Agung, anugerahkan kami kapasitas sebagaimana
orang tua kami. Almarhum Bapak pernah bilang “Mat, ngadidik anak jauh lebih
beurat dibanding ngadidik anak batur, ngadidik murid. Loba kiai nu anakna malah
teu jadi ustad, loba guru nu anakna malah bangor, ke sorangan ngarasakeun
kumaha susahna”. Bapak sudah khatam dan saya baru memulai dengan jalan yang masih panjang, Bapak dengan ‘masanya’,
dan saya dengan ‘masanya’. Zaman anak-anak kami begitu instan, banyak viral
bagaiman adik kakak loncat dari apartemen setelah sepeninggal ibunya, anak yang
depresi setelah ibunya sakit keras, anak-anak yang dengan mudah menuntut dan
mengancam agar diberikan HP terkini tanpa pernah berpikir kemana lagi bapaknya
berhutang, anak-anak yang sebegitu mudahnya membully temannya hanya karena
merek sepatu yang berbeda. Dan rupanya banyak juga anak-anak yang sekolah di
SD, SMP,SMA Islam terpadu maupun pesantren, hafal segala jenis doa dan ayat
tapi tetep susah disuruh solat, masa bodoh dengan tumpukan cucian baju maupun
piring, IQ, SQ tinggi tapi emosinya jongkok.
Maafkan kami Bapak Ibu, karena semakin tersadar betapa hebat
dan luar bisanya engkau membesarkan kami dengan paripurna tidak kurang suatu
apapun. Ya Rabbi mampukan kami menjaga amanah anak sebagaimana orang-orang tua
kami. Kami sadar harta terbesar bukan uang, emas, hamparan tanah melainkan
akhlak anak yang terpuji.
Rekan… jikalau bapak ibu kita masih ada, sayangi mereka,
sering kunjungi, sering telpon karena kelak beda rasanya jikalau mereka sudah
tiada. Apalah kesibukan dunia kita ini tak ada artinya jikalau Allah Sudah
panggil Bapak Ibu kita ke haribaan…