Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) di Kota Cilegon, membuka kembali catatan kasus
persoalan hukum terkait dengan tanggungjawab sosial perusahaan atau lebih
dikenal dengan dengan istilah Corporate
Social Responsibility (CSR). Dalam hal ini CSR dijadikan sebagai modus operandi
baru menggunakan saluran CSR klub sepak bola di daerah. Menurut Komisioner KPK
Basaria Panjaitan, uang Rp 1,5 miliar yang berasal dari PT Krakatau Industrial
Estate Cilegon (KIEC) dan PT Brantas Abipraya ditransfer kepada rekening
Cilegon United Football Club. Pengiriman uang itu tercatat sebagai donasi atau sponsorship. Kedua perusahaan pemberi
suap tersebut kebingungan mengenai mekanisme penyerahan uang agar dapat
disamarkan.
Berdasarkan
catatan penulis, OTT Cilegon merupakan kasus terkait CSR kelima baik yang
diselidiki Kejaksaan, Kepolisian maupun KPK. Kasus tersebut diantaranya; Pertama, kasus mobil listrik
dari CSR PT Pertamina, Bank Rakyat
Indonesia (BRI), dan PT Perusahan Gas Negara (PGN) untuk kebutuhan operasional
forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali, yang selanjutya
dihibahkan kepada Perguruan Tinggi (PT) untuk penelitian. Kedua, kasus cetak sawah di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan
Barat yang diinisiasi oleh Kementrian BUMN melalui patungan dana CSR/PKBL
dengan dana sebesar Rp 360 miliar
berasal dari PT Bank Nasional Indonesia, PT Askes, PT Pertamina, PT Pelindo, PT
Hutama Karya, PT Bank Rakyat Indonesia, dan PT Perusahaan Gas Negara. Ketiga, penyelidikan mengenai
penyelewengan Pertamina Foundation yang berasal dari laporan
internal terkait proyek penanaman 100
juta pohon, pembentukan sekolah Pertamina Foundation,
dan sekolah sepak bola Pertamina Foundation.
Keempat, pengelolaan dana CSR bantuan PT Timah dalam perhelatan homestay fair Muntok, Bangka
Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Hal yang menarik adalah keterangan
yang disampaikan Mantan Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri
Brigjen (Pol) Victor Edison Simanjuntak mengenai latar belakang
penyelidikan "Jadi uang keluar,
tapi proyek tidak berjalan sepenuhnya. Padahal, meskipun itu dana CSR, tetap
masuk uang negara. Oleh sebab itu, kita kategorikan sebagai kerugian
negara,". Jika pernyataan tersebut sudah menjadi dalil penyelidikan, maka
pengelola CSR khususnya pada perusahaan BUMN harus hati-hati dalam melaksanakan
program CSR. Selain ada modus lain seperti penyamaran menggunakan saluran CSR
seperti di Kota Cilegon atau motif politik lokal seperti yang ditengarai
terjadi di Muntok, Bangka Barat.
Pada
kegiatan Forum CSR di sebuah Provinsi, saya mendapati berbagai keluhan dari
pengelola CSR, bahwa terdapat dana bantuan Kemitraan Usaha Kecil Menengah (UKM)
yang macet atau tidak bergulir. Nilai uang yang tidak bergulir mulai dari
puluhan juta hingga puluhan miliar rupiah. Persoalannya adalah dana macet
tersebut setiap tahun terjadi, lalu dianggap hal biasa oleh BUMN maupun
perusahaan swasta. Menyikapi persoalan tersebut, hal utama yang harus dirubah
adalah mind set, jika CSR bukanlah
sedekah atau bantuan sosial semata. Jika perusahaan baru menjalankan CSR Pada
level tersebut, maka CSR baru out put
atau sekedar menghitung berapa dana yang terserap, idealnya perusahaan menjalankan
CSR pada tahapan impact atau dampak
manfaat apa yang telah ditimbulkan dari pelaksanaan CSR. Saya sangat sepakat dengan dalil penyelidik,
bahwa sepeserpun dana CSR harus bisa dipertanggungjawabkan, karena jika tidak
membawa manfaat sudah pasti menimbulkan kerugian baik pada keuangan perusahaan
maupun secara luas pada kerugian negara.
Langkah penting yang harus dilakukan
para pengelola CSR agar kelak tidak terjerat persoalan hukum adalah melakukan
penguatan tiga aspek, yakni pada Sumber Daya Manusia (SDM) pengelola CSR,
sistem, maupun administrasinya. Permasalahan awal terkait pengelola CSR adalah
mereka yang minim kompetensi, baik pengalaman maupun keilmuan. Hal tersebut
terjadi karena banyak perusahaan yang menganggap CSR cukup dikelola oleh mereka
yang jelang purna bakti, dan mereka yang kurang produktif di unit bisnis,
sehingga kompetensi yang alakadarnya akan menghasilkan program CSR yang
seadanya.
Terkait sistem, banyak perusahaan
yang hingga saat ini belum memiliki SOP pengelolaan CSR, yang seharusnya CSR
itu memberdayakan malah ‘memperdaya’. Maka wajar jika pada akhirnya mentalitas
masyarakat sekitar perusahaan menjadi peminta-minta, akibat perusahaan belum
memiliki pola CSR yang terencana dan terstruktur. Hal lain yang menjadi musabab
jeratan hukum adalah terkait mal
administrasi, karena CSR dianggap sebagai bagi-bagi sumbangan, maka sudah
lumrah jika administrasinya kacau, cenderung membuat laporan-laporan fiktif.
Biasanya laporan yang disajikan tampak ideal dengan dokumentasi dan cover yang
menarik, padahal ada upaya manipulasi terhadap tidak tercapainya impact. Mudah sekali mengidentifikasi
sukses tidaknya program, jika dalam waktu berjalan semakin banyak permintaan
bantuan atau pengajuan proposal dari pemangku kepentingan yang ingin
memanfaatkan CSR maka sudah dipastikan jika ada yang tidak tepat dalam tahapan
CSR. Karena idealnya jika pentahapan CSR berjalan sesuai, maka ada periode yang
disebut terminasi (pemutusan bantuan) bagi klien (masyarakat/ kelompok) yang
telah mandiri.
Dalam kesempatan forum CSR saya
senantiasa mengingatkan perusahaan yang mengalami kemacetan bantuan bergulir
diatas 20% untuk melakukan evaluasi formatif yang objeknya adalah penerima
bantuan CSR. Tujuannya agar dapat diketahui akar permasalahan kenapatidak
bergulir. Bisa jadi jika selama ini program CSR yang dilakukan sifatnya top down, dimana masyarakat tidak
membutuhkan, ataupun lemah dalam pendampingan, tidak dibuatkan pasar akan
produk yang dihasilkan. Jika evaluasi formatif tidak dilakukan, maka dipastikan
bantuan apapun akan selamanya macet. Evaluasi program penting untuk mengetahui
apakah program masih dibutuhkan masyarakat, harus diganti, atau perlu
penyempurnaan. Jika hal ini dilakukan maka perusahaan tinggal melakukan re-start dengan program yang telah
diimprovisasi agar tidak terkena persoalan hukum dikemudian hari. ***
gambar : https://www.adisucipto.com/penegakan-hukum-di-indonesia/