Diberdayakan oleh Blogger.

Ramadhan di Tahun Politik


posted by rahmatullah on

No comments


Karena saya bukan ustad dan sadar diri akan rendahnya ilmu agama, maka tulisan ini tidak membahas hal ihwal amalan ramadhan. Yang pasti bulan ramadhan artinya kita berpuasa, secara lahiriah menahan lapar dahaga dari subuh hingga magrib, secara batiniah menahan segala hawa nafsu.

Kali ini mendingan saya curhat saja ya hehe… Mari simak. Apalah susahnya menahan lapar dahaga, karena sedari SD hingga kini kita sudah khatam menahan lapar dan haus, jikalau usia saya 35 Tahun, maka kurang lebih sudah 25 tahun saya tamat menahan lapar doang, tapi sepertinya tidak dengan menahan hawa nafsu, bisa jadi urusan ini nilainya zonk alias nol besar.

Hal yang saya ingat pada pelajaran Agama saat SD, guru saya Almarhumah Bu Tatu pernah bercerita, jika setelah Perang Badar, Nabi SAW pernah berkata “Kita sudah memenangkan peperangan yang paling berat, namun ada perang yang maha dahsyat, yakni perang melawan hawa nafsu, perang terhadap diri sendiri” kurang lebih begitu saya memaknainya.

Apalah jadinya Ramdhan kita di tahun politik? Tanpa tahun politik, menahan nafsu syahwat yang diinisiasi mata dan rasa saja sulitnya bukan main, menahan kantuk dan aneka korupsi waktu dikantor juga rasanya berat. Bayangkan ditahun politik dengan akses kebebasan berpendapat melalui media sosial, apakah mungkin bisa menghentikan diri menyampaikan ujaran kebencian, tidak men-share hoax, tidak asal bunyi dalam berkomentar, tidak membicarakan kekurangan orang lain, tidak berdebat dengan orang serumah, sekantor, bahkan beradu argumen dengan orang yang baru kita kenal di kendaraan umum saat ia melontarkan pendapat berbeda.

Ramdhan tahun ini lebih berat jendral… Saya kira amalan saya pasti babak belur dengan aneka godaan diatas. Mungkin dari definisinya juga sudah jelas Ramadhan artinya “Panas yang Menyengat”. Kalau sudah panas dan lapar keadaanya pasti tak terkontrol, disitulah mungkin Allah uji  ketahanan manusia.

Jikalau berbicara rasa, ingin rasanya menangis, tapi biarlah tangisan ini dihati saja hehe…malu kan kalau kelihatan rapuh. Tapi saya merasakan rapuh sesungguhnya menjangkiti kita umat islam, sebegitu mudah terbawa arus perpecahan, kebencian, saling menjatuhkan, jauh dari adab dan akhlak yang diajarkan nabi. Saya katakan penyakit akut kita adalah pengkultusan dan merasa diri dan golongannya paling benar, padahal kultus menurut Islam itu haknya Nabi dan merasa benar sendiri berarti kita sudah melampaui Tupoksi Malaikat.

Rasanya tiga bulan lalu kita sudah mengumandangkan doa ini:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَب، وَشَعْبَانَ، وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ
Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban. Dan jumpakanlah kami kepada bulan Ramadhan.”
Jujur di media sosial saya tidak memajang doa ini, tapi hanya mengungkapkan dalam hati sambil memulai tidak akan lagi nonton Indonesia Layers Club (ILC), meng-hidden status teman, saudara dan siapapun dalam FB yang membuat status kebencian, narsis, kultus dan merasa 'paling…', mengurangi nonton berita online maupun TV yang isinya provokasi. Tujuannya apa, mentraining diri menahan nafsu. Karena alah bisa karena biasa, jikalau jari sudah tak terkontrol, berdebat sudah menjadi habit, maka kelak dosa sudah kita anggap biasa.  Menang kalah debat di media sosial atau forum diskusi toh tidak dapat penghargaan apa-apa, mungkin hanya dapat tanda like dan gemuruh tepuk tangan yang entah Allah ridhai atau tidak.

Kurang lebih 12 hari lagi Ramdhan tiba, dan saya berdoa semoga benar-benar tiba dan Allah beri kesempatan kita melaksanakan aneka amalan yang penuh dengan 'bonus'. Kebayang jikalau tidak ada ramadhan, kapan kita menutupi amalan yang amburadul pada 11 bulan sebelumnya, sungguh Allah maha baik. Apalah jadinya jikalau kita tidak berubah, tidak mempersiapkan diri dan tidak mentraining menahan varian nafsu dari sekarang.

Tabik!*

Gambar : https://www.codepolitan.com/ramadhan-semakin-produktif-sambil-belajar-coding-591465ce37d70

Leave a Reply

Sketsa