Berburuk sangka adalah 'penyakit' yang kerap saya dera, bahkan
hingga pertengahan ramadhan-pun belum hilang, malah menjadi-jadi. Sedikit
tulisan pendek ini mengenai suudzan dan suratan takdir, semoga ada pembelajaran
untuk mengobati hati.
Selasa, 5 Juni 2018 kami berangkat ke salah satu kementerian
untuk berkonsultasi terkait sebuah pekerjaan. Satu hari sebelumnya kami sudah
mengikat janji dan ‘fix’ bertemu dengan beliau jam 10 pagi. Karena jarak yang
lumayan jauh dari Pandeglang, rombongan kami berangkat jam 6. Alhamdulillah jam
9 sudah sampai di Lokasi, rupanya untuk melakukan konsultasi di
Kementerian tersebut, harus melakukan registrasi, pendataan, hingga diberikan
arahan lokasi dimana gedung tempat beliau. Sesampai di gedung yang dituju harus kembali
registrasi dan menunggu di ruang bawah. Saat itu ditanya akan
bertemu siapa oleh petugas, kami sampaikan sudah ada janji dengan beliau, dan
dinyatakan ruangannya masih kosong. Sebetulnya dalam perjalanan sudah kami kontak beliau via WA,
SMS dan telpon untuk memastikan posisi kami, dan rupanya HPnya tidak aktif.
Dalam benak, pasti menjelang siang HPnya akan aktif apalagi sudah menjadwalkan sebelumnya. Hingga jam 10 rupanya HP beliau tetap tidak bisa dikontak,
mondar mandir kami tanya ke petugas registrasi, dan dinyatakan beliau belum datang.
Karena kami rencana mengunjungi dua tempat, akhirnya demi efektifitas rombongan
dipecah, saya dan rekan tetap menunggu dan dua rekan beranjak ke instansi lain
untuk mengkoordinasikan pekerjaan berbeda.
Rasa kesal, BeTe dan prasangka mulai hinggap karena sampai
jam 11 HP beliau belum aktif, balik lagi ke petugas mengkonfirmasi bahwa beliau
belum datang dan ruangan kosong. Akhirnya kami minta agar dikontakan dengan
pegawai pada unit yang sama untuk berkonsultasi. Lalu jawaban petugas bahwa
unit tersebut kosong karena semua pegawai dipanggil direktur untuk rapat.
Kekecewaan kami semakin menjadi, karena janji yang diikat
kian tidak ada kepastian, dan prasangka memuncak pada beliau karena kami jauh
dari daerah malah di PHP-in. Kalau tidak bisa ketemu ya konfirmasi, apa sulitnya. Pikiran kami kian berbelit setelah ditambah persoalan ada kesalahan
pada Surat Perjalanan Dinas yang tidak bisa diproses dan harus segera
diperbaiki. Akhirnya dengan segala daya upaya, rekan kantor bisa memperbaiki
surat perjalanan dinas, di-emailkan dan diproses di Kementrian tersebut.
Menjelang zuhur HP beliau tetap tidak aktif, petugas
registrasi-pun tidak bisa memberikan info apapun. Akhirnya kami putuskan pulang
dengan sayap yang patah karena melakukan kunjungan sia-sia. Perjalanan pulang
kami isi dengan obrolan sumpah serapah, dan prasangka tak ada akhir, kami
anggap beliau wan prestasi dimata kami. Saya ingatkan rekan untuk tetap mengirimkan
SMS ke beliau bahwa kami pamit pulang.
Jam 16.00 saya ditelpon rekan yang kerap menghubungi beliau
dan mengabari bahwa, barusan istri beliau mengontak dalam kondisi panik dan
menangis. Minta tolong agar diinfokan ke rekan-rekan kementrian bahwa pagi tadi
beliau terkena stroke. Istri beliau mengira bahwa rekan saya yang sepanjang
pagi hingga siang menelpon adalah teman beliau di kementrian. Dan rekan saya jelaskan
bahwa kami tamu dari daerah yang punya janji untuk bertemu beliau yang rupanya
pada saat puncak prasangka kami beliau sedang mendapatkan cobaan serangan
stroke.
Saat itu juga, bulu kuduk saya berdiri dan tak putus
beristighfar meminta ampun. Rupanya sepanjang saya berprasangka, mengucapkan
sumpah serapah disaat yang sama beliau sedang dicoba serangan penyakit yang mengancam jiwa. Entahlah, mungkin puasa saya sepanjang umur hanyalah puasa
fisik, sedangkan hati ini tak mampu dikelola dan penuh dengan ‘penyakit’ prasangka. Saya
dan rekan hanya bisa berdoa semoga beliau dianugerahkan kesembuhan sediakala.
Dilain pihak pikiran ini menerawang jauh, apalah yang
dikejar jungkir balik di dunia ini…materi, harta, tahta, semua pasti binasa
apalagi jika Allah tidak ridha dengan cara dan upaya kita selama ini. Bisa jadi
dalam proses untuk meraih dunia banyak pihak tersakiti dan terluka akibat polah
dan tingkah kita.
Sudahlah, saatnya diri ini berubah, beranjak hijrah… kematian
itu dekat dan teramat dekat, tersadar hati masih kotor dan bekal akhirat masih
nol besar. Sedangkan Ramdahan sudah menjelang detik akhir… ***
kenapa konsultasi dengan instansi pusat tidak bisa dilakukan melalui media daring pak ? mengingat efektivitas pandeglang-jakarta yg jaraknya cukup jauh ? apakah dalam bingkai NKRI semua anak kandung harus bertemu langsung dengan bapaknya kalo sekedar bertanya ini dan itu
ini kejadian tahun 2018 sebelum pandemi, kebetulan sudah mengikat janji dan rencana topik yang didiskusikan agak sulit mendapatkan penjelasan via daring