Apa gunanya kita sekolah tinggi-tinggi hingga mendapatkan
gelar sarjana, master, spesialis bahkan doktor di zaman gila ini? Toh keahlian
dan kepakaran kita tidak akan dijadikan rujukan masyarakat khususnya pengguna
media sosial. Kita yang jungkir balik sekolah meneliti suatu detail persoalan
seringkali pendapatnya malah dicampakan, dibantah, hingga dibully oleh mereka
yang sekolahnya di bangku Universitas Media Sosial.
Bayangkan para mahasiswa Univeristas Media Sosial yang
'profesinya' membaca aneka postingan beraneka sumber, menghimpun informasi antah
berantah lalu me-reproduksi dengan bumbu penyedap disertai foto photosop lalu
mereposting satu isu bisa mendapatkan pengikut dan dimakmumi ribuan hinggu
jutaan jamaah/follower. Dan kerennya lagi dia bisa ‘menguasai’ segala bidang isu dan
ilmu, mau memposting perihal politik, hukum, keamanan, komunikasi, kemiskinan,
ekonomi, tehnologi, bahkan kesehatan selalu mendapatkan hati para jamaah, sehingga postingannya
selalu di like, direpos oleh masyarakat.
Beda nasib dengan kita, menuliskan pandangan sesuai dengan keahlian, bersumber
dari mereview buku, serta analisis peristiwa kemudian mempostingnya kedalam media
sosial, mungkin paling banyak 30 orang yang membaca, 20 orang me-like, dan hanya
2 orang yang me-repost. Sedikit sekali yang menyukai, padahal apa yang kita
posting adalah bidang kepakaran kita yang bisa dipertanggungjawabkan. Walaupun
situasi tersebut sebetulnya ujian ikhlas dan agar tidak ujub karena mungkin
bukan di media sosialah panggung kita, walaupun tetep ‘nyebelin’ kok isu yang
kita kuasai malah tak laku, yang laku malah mereka yang tidak jelas nasab
keilmuannya.
Ini kejadian dalam group Whats Up (WA) keluarga misalnya,
sebagamana biasa aneka isu di posting dalam WA yang paling sering kita temui adalah
hal yang diposting/ dicopy paste tidak jelas dari mana sumbernya. Hingga satu waktu ada
anggota keluarga mengirim satu artikel tentang politik yang isinya hoax, lalu
isi berita tersebut dibantah oleh saudara yang secara kepakaran memang ahli
politik mendapatkan gelar doktornya-pun di luar negeri, namun nasibnya adalah
jamaah WA malah mempercayai artikel hoax dan tidak setuju dengan pendapat
saudara yang memang ahli di bidangnya.
Seringkali kejengkelan-kejengkelan tersebut hadir dalam
aneka group WA atau media sosial lainnya saat mereka yang awam lantas merasa
lebih, paling bahkan maha tahu hanya karena dia membaca aneka postingan sesat yang ia
imami. Banyak dokter anak yang frustasi menghadapi golongan anti vaksin yang
awam namun sok tahu, dengan membantah melampirkan artikel-artikel yang tidak
bisa divalidasi, sedangkan si dokter hingga ia mendapatkan gelar Spesialis Anak
butuh belasan tahun merintis keahlian mulai dari pendidikan dokter, magang,
menulis aneka jurnal ilmiah hingga mengambil profesi dengan mudah dicampakan pendapatnya.
Sama halnya dengan teman yang menuntut ilmu agama hingga ke
negeri Mesir, seolah menjadi kanak-kanak dalam diskusi grup WA, segala
pendapatnya dibantah oleh teman lain yang mendapatkan ilmu agama dari internet
merujuk pada bacaan seliweran postingan artikel demi membenarkan pandangannya.
Universitas Media Sosial telah menjungkirbalikan penghargaan
atas keahlian, kepakaran suatu disiplin ilmu dan menabrak etika profesi. Semakin miskin penghargaan seseorang
atas kepakaran, keahlian atas disiplin keilmuan seseorang, karena rasa sok tahu
yang semakin menjadi. Zaman dulu kita begitu hormat dan segan pada guru,
dokter, dosen, ustad, insinyur dan mereka yang ahli karena kita tahu butuh
proses panjang hingga berdarah-darah untuk bisa menjadi pakar dibidangnya.
Semoga kita bukan jadi bagian dari mereka yang merasa maha
tahu****
gambar :https://satujiwa.dutadamai.id/mengarifi-media-sosial-menghindari-jerat-meraih-manfaat/