Diberdayakan oleh Blogger.

SENDOK EMAS


posted by rahmatullah on

No comments


Pagi ini ada pernyataan menarik yang terlontar dari mulut Aiman saat sarapan jelang berangkat sekolah, ia bilang ke adiknya “Aisyah, ternyata makan pake sendok emas sama aja rasanya”. Menguping pembicaraan mereka, saya dan istri hanya tersenyum berucap syukur alhamdulillah, satu pelajaran kehidupan sudah tertanam dalam diri Aiman soal ‘fungsi’.

Apa itu sendok emas hehe, netizen pasti bertanya-tanya apa maksudnya. Sendok emas adalah sendok berbahan kuningan yang merupakan hadiah kalau membeli satu renceng Kopi Torabika Capucino atau Creamy Late, kebetulan istri mendapatkannya saat belanja ke toko kelontong.

Melanjutkan obrolan antara Aiman dan Aisyah, karena sangat menarik akhirnya saya nimbrung, mengangkat dua jempol di depan Aiman. Saya sampaikan bahwa saya bersyukur Aiman memahami satu konsep tentang fungsi. Apa itu fungsi? Saya kemukakan sebagaimana  jika berangkat ke sekolah Ia mengenakan sepatu, tas, alat tulis yang layak, tak penting mereknya apa. Begitupun soal makanan, tidak menjadi soal makan di mana, menunya apa atau merknya apa yang utama adalah halal, higienis dan bergizi.


Hal yang sering saya sampaikan ke anak-anak bahwa kita hidup jangan terintimidasi oleh ‘merek’ karena itu menyusahkan. Sedari dini penting untuk beradaptasi, jika dihadapkan pada kesederhanaan kita sudah terbiasa, jika dianugerahkan kemewahan maka kita akan lebih banyak bersyukur. Hal tesebut sebagaimana analogi yang Aiman sampaikan, selama ia sendok, mau terbuat dari emas, perak, besi, kuningan maupun plastik rasanya tetap sama saja. Kemewahan jangan sampai membuat kita melayang.

Betapa repotnya jika sejak anak-anak sudah terintimidasi ‘merek’, kebiasaan tersebut dipastikan akan terbawa hingga dewasa. Misalnya anak akan mogok sekolah jika sepatu yang dikenakan bukan merek nike, reebok, new balance, begitupun HP harus bermerek Iphone atau Samsung, laptop harus Macbook, Sepeda motor harus KLX, NMax atau PCX, kalau makan harus di McD, ngopi  harus ke Starbucks. Segala kemewahan tersebut jika tidak diturutkan berdampak manyun sepanjang hari, ngurung diri dikamar, atau melakukan sesuatu dengan ogah-ogahan. Tentunya berat secara ekonomi, karena roda terus berputar.

Kelangkaan

Saya dan istri berupaya membiasakan anak-anak untuk hidup sederhana, bukan berarti pelit tapi mengelola agar seimbang dan selalu bersyukur.  Saya kerap berdialog dengan Aiman, misalnya. “Aiman kalau hari ini kita makan pizza seneng gak?”, Aiman jawab “Wah, Seneng banget”, “kalau setiap hari makan pizza?” dia jawab “Ya bosan”. Begitupun hal lainnya, pada akhirnya dia paham bahwa, kita akan merindukan dan girang akan sesuatu, jika hal tersebut jarang ditemui, dan rasa kesyukurannya akan sangat besar. Begitupun jika selalu diberikan hiburan, kesenangan dan segala keinginan dicukupi tanpa menimbang kebutuhan maka hal yang mewah akan berasa biasa saja, dan tentunya berkurang rasa syukur, serta mungkin malah menimbulkan masalah disaat ekonomi sulit.

Hal yang lebih penting lainnya adalah dana cadangan atau tabungan, saya dan istri sadar jika kami pegawai yang berpenghasilan pas-pasan, maka sebisa mungkin untuk memiliki dana cadangan atau tabungan. Tujuannya jika ada kebutuhan apapun baik itu darurat, mendesak atau yang sudah terencana sebisa mungkin tidak berhutang atau dibayar tunai.

Uang Saku

Dua hal yang saya dan istri biasakan terkait urusan sekolah Aiman dan Aisyah. Pertama, sebelum sekolah wajib sarapan. Kedua, membawa bekal dari rumah. Tujuan utamanya agar mereka tidak jajan dan terpantau apa yang mereka konsumsi selama di sekolah. Perlakuan berbeda antara Aiman dan Aisyah. Jika aiman saya bolehkan jajan dikarenakan waktu sekolah lebih lama itupun harus makanan yang berkemasan, sedangkan Aisyah dikarenakan masih kelas 1 SD, tidak diperbolehkan jajan karena belum bisa memilah makanan dan waktu sekolah lebih pendek.

Dalam sepekan setidaknya 3 kali saya beri mereka uang saku, hehe seadanya disaku saya, bisa Rp.5000, kadang Rp.10.000, jika sedang ada rizki saya beri Rp.50.000, jika memang sedang tidak ada, dalam sepekan tidak saya berikan uang saku. Terkait konsep uang saku, saya serahkan peruntukannya ke mereka, apakah untuk ditabung, untuk memenuhi kebutuhan sekolah atau jajan. Rupanya masing-masing anak punya pola sendiri, jika Aisyah akan memasukan sepenuhnya ke tabungan sekolah, sedangkan Aiman akan mebaginya, jika uangnya besar akan ia masukan ke tabungan sekolah, jika uangnya kecil ia akan simpan dan kumpulkan untuk digunakan memenuhi kebutuhan atau jajan di akhir pekan. Kebiasaan aiman ini sangat meringankan orang tua, hehe karena kalau saya ajak ke minimarket atau toko ATK dia ingin membayar dengan struk terpisah menggunakan uang yang ia kumpulkan selama sepekan.

Mohon maaf, jadi panjang lebar bermula dari sendok emas, namun kian hari saya menyadari bahwa rupanya begitu besar jasa orang tua sehingga dengan segala kurang dan lebihnya membentuk kita menjadi seperti hari ini. Hal ini menggugah bahwa betapa tidak mudah membersamai, menemu kenali, dan membentuk karakter positif pada anak, dan yang terpenting adalah bagaimana kita semaksimal mungkin mengantarkan anak untuk kehidupannya yang cepat atau lambat akan kita tinggalkan selamanya.

 

Leave a Reply

Sketsa