Diberdayakan oleh Blogger.

Anak, Gawai, dan Masa Depan yang Rapuh


posted by rahmatullah on , ,

No comments

 
















Indonesia memikul harapan besar menuju Generasi Emas 2045. Seratus tahun kemerdekaan, bangsa ini ingin berdiri sejajar dengan negara maju, ditopang oleh sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan berdaya saing global. Namun, jalan menuju cita-cita itu menghadapi ujian berat: generasi muda yang tumbuh dengan gawai di genggaman, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur kembali.

Gawai membuka peluang pembelajaran, kreativitas, dan akses informasi. Namun, ia juga membawa risiko serius: kecanduan, paparan pornografi, konten kekerasan, game dan judi daring, hingga degradasi kesehatan mental. Pertanyaan besar pun muncul: akankah generasi yang kita persiapkan menjadi pilar emas justru runtuh sebelum berdiri kokoh?

Kecanduan Gawai: Krisis Konsentrasi Anak

Fenomena kecanduan gawai bukan sekadar cerita orang tua di rumah, tetapi sudah tercatat dalam data medis. Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya, melaporkan sejak awal 2024 terdapat 3.000 anak dan remaja yang dirawat karena kecanduan gawai atau game daring. Penelitian di Jakarta oleh dr. K. Siste memperkuat, sekitar 31,4 persen remaja menunjukkan gejala kecanduan internet. Gejala ini bukan hanya 'hobi' semata, melainkan pola perilaku kompulsif: sulit berhenti, gelisah bila tidak online, mengorbankan jam tidur, dan menurunnya konsentrasi belajar.

Jika tren ini berlanjut, kita menghadapi krisis konsentrasi nasional—generasi yang tidak lagi mampu memusatkan perhatian pada hal-hal mendasar, dari pendidikan hingga interaksi sosial.

Paparan Pornografi dan Kekerasan Digital

Paparan pornografi pada anak semakin mengkhawatirkan. Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) KPPPA 2021 mencatat 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan usia 13–17 tahun pernah terpapar konten pornografi daring. Anak-anak sering menemukannya bukan dengan sengaja, melainkan akibat algoritma dan iklan acak. Dampaknya jelas: distorsi pemahaman seksualitas, trauma psikologis, hingga potensi penyalahgunaan seksual.

Tak kalah berbahaya adalah konten kekerasan. Dari game hingga media sosial, anak kerap terpapar adegan brutal yang dapat meningkatkan kecenderungan agresi. Beberapa tawuran remaja yang direkam lalu diunggah ke media sosial menjadi bukti: gawai bukan hanya medium konsumsi, melainkan juga panggung produksi kekerasan.

Game Online, Judi Daring, dan Perangkap Gacha

Game online telah menjadi fenomena global. Bagi sebagian anak, game adalah hiburan; bagi sebagian lain, jebakan yang melumpuhkan. Elemen gacha atau loot box memperkenalkan anak pada sistem mirip perjudian: mengeluarkan uang untuk hadiah acak. Penelitian internasional membuktikan bahwa semakin sering anak terlibat gacha, semakin tinggi kecenderungan perilaku mirip judi.

Di Indonesia, kasus nyata terus bermunculan. Di Bekasi, seorang remaja SMP menghabiskan jutaan rupiah dari tabungan orang tuanya demi membeli diamond game. Di Medan, seorang remaja nekat mencuri ponsel demi bisa terus bermain. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana game daring telah menembus ranah sosial dan ekonomi keluarga.

Praktik Baik dari Dunia

Indonesia tidak sendirian menghadapi tantangan gawai. Sejumlah negara telah lebih dahulu mengambil langkah konkret yang bisa menjadi bahan refleksi sekaligus inspirasi:

- Korea Selatan: Pemerintah sempat menerapkan 'shutdown law' yang membatasi akses game online untuk anak di bawah 16 tahun pada pukul 12 malam hingga 6 pagi.
- Tiongkok: Sejak 2021, anak di bawah 18 tahun hanya boleh bermain game online selama tiga jam per minggu (Jumat–Minggu, satu jam per hari). Sistem login dengan identitas asli memperkuat pengawasan.
- Prancis: Melarang penggunaan ponsel di sekolah dasar dan menengah sejak 2018, demi memastikan ruang belajar bebas dari gangguan layar.
- Belanda: Beberapa sekolah menerapkan zona bebas gawai, menyediakan loker khusus ponsel sejak pagi hingga jam pulang.

Ancaman terhadap Generasi Emas 2045

Indonesia menaruh harapan besar pada Generasi Emas 2045. Namun, jika fenomena kecanduan, paparan pornografi, kekerasan, dan judi daring terus dibiarkan, cita-cita itu bisa runtuh. Alih-alih menjadi sumber daya unggul, kita berisiko melahirkan generasi rapuh—rentan depresi, rendah daya saing, dan kehilangan daya juang.

Menata Jalan: Peran Keluarga, Sekolah, dan Negara

Pelajaran dari negara lain seharusnya mendorong Indonesia lebih tegas. Ada tiga pilar yang perlu diperkuat:

·       Keluarga: Orang tua harus aktif mendampingi, bukan sekadar memberi larangan. Diskusi, pemahaman algoritma, hingga rutinitas tanpa gawai perlu dibangun sejak dini.

·       Sekolah: Integrasi literasi digital dan pembatasan penggunaan gawai di lingkungan belajar harus lebih serius. Zona bebas gawai di sekolah dapat menjadi awal.

·       Negara: Regulasi harus lebih berani: transparansi loot box, pengawasan iklan digital, pembatasan jam akses game daring, serta perluasan layanan kesehatan mental bagi anak.

Penutup: Menjaga Janji Emas

Generasi Emas 2045 adalah janji sejarah. Namun, janji itu tidak akan terwujud jika kita membiarkan anak-anak tumbuh tanpa perlindungan dari dampak buruk gawai. Indonesia bisa belajar dari Korea Selatan, Tiongkok, Prancis, dan Belanda, yang berani mengambil langkah meski penuh kontroversi. Gawai tidak bisa dihapus dari kehidupan modern, tetapi kita bisa memastikan anak-anak tidak menjadi budak layar. Di tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan.

Leave a Reply

Sketsa