Diberdayakan oleh Blogger.

E-Commerce Membunuh Pasar atau Pasar yang Bunuh Diri?


posted by rahmatullah on , ,

No comments

Beberapa hari lalu saya berjumpa dengan seorang tukang servis jam di Pasar Badak, Pandeglang. Saat saya tanyakan bagaimana kabar usahanya, ia menjawab dengan getir: “Sekarang makin sulit, Pak. Servis dan jual jam makin hancur gara-gara toko online. Orang bisa beli baterai jam sendiri, nonton tutorial di YouTube, dan pasang di rumah. Usaha ini sekarang hanya cukup buat makan, tak lagi bisa cari untung.”

Jawaban singkat itu sesungguhnya adalah potret getir dari nasib ribuan bahkan jutaan pedagang kecil di pasar tradisional di seluruh Indonesia. Fenomena yang dialami tukang servis jam bukan sekadar persoalan satu orang, melainkan cermin dari guncangan besar yang kini dialami dunia usaha kecil di era disrupsi digital.

Pergeseran Perilaku Konsumen
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa penetrasi internet di Indonesia pada 2024 telah mencapai 79,5 persen atau sekitar 221 juta pengguna. Lonjakan ini mengubah pola konsumsi masyarakat secara drastis. Belanja daring tidak lagi menjadi alternatif, melainkan pilihan utama bagi banyak keluarga. Dari pakaian, kebutuhan rumah tangga, hingga jasa sederhana, semuanya bisa dicari dengan sekali klik di ponsel.

Lebih jauh, platform berbagi video seperti YouTube memperkuat tren do-it-yourself (DIY). Orang kini berani memperbaiki jam, ganti baterai ponsel, bahkan melakukan servis sederhana setelah menonton tutorial. Dampaknya, jasa-jasa kecil di pasar tradisional kehilangan relevansi dan pelanggan. Tukang servis jam, tukang kunci, hingga reparasi sepatu, perlahan kehilangan ruang hidupnya.

Pemerintah dan Regulasi yang Tersendat
Sebenarnya pemerintah mencoba menata arus besar ini. Kementerian Perdagangan sempat mengeluarkan Permendag No.31/2023 yang melarang transaksi langsung di media sosial. TikTok Shop sempat ditutup, lalu kembali lewat integrasi dengan Tokopedia. Namun pada kenyataannya, regulasi ini lebih banyak mengatur “pintu masuk” transaksi, bukan melindungi pedagang kecil di hilir.

Di sisi lain, platform e-commerce terus menaikkan biaya administrasi atau take rate yang dipotong dari penjual. Tahun 2024, sejumlah kategori dikenakan biaya 4,25 hingga 10 persen dari nilai transaksi. Bagi pedagang besar, angka ini mungkin masih bisa ditutup dengan volume penjualan. Tetapi bagi pedagang kecil, terutama mereka yang baru belajar berjualan online, margin keuntungan menjadi semakin tipis, bahkan habis.

UMKM dan Struktur Tenaga Kerja yang Rapuh
Indonesia adalah negeri UMKM. Data Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan, UMKM menyumbang 61 persen PDB dan menyerap 117 juta pekerja, atau sekitar 97 persen dari total tenaga kerja. Lebih dari setengahnya adalah pekerja informal, yang tidak terlindungi jaminan sosial atau kontrak kerja tetap.

Ketika pasar tradisional melemah dan UMKM terdesak di kanal digital, dampaknya cepat beresonansi ke sektor tenaga kerja. Jutaan orang bisa terdorong ke pekerjaan yang lebih tidak produktif, atau bahkan kehilangan mata pencaharian sama sekali. Fenomena “pengangguran terselubung” pun menguat: orang masih bekerja, tetapi dengan pendapatan yang jauh dari layak.

Ancaman Sosial: Kriminalitas dan Kesenjangan
Sejumlah studi di Indonesia menunjukkan korelasi positif antara kemiskinan, pengangguran, dan kriminalitas. BPS juga merilis Statistik Kriminal tiap tahun, yang kerap memperlihatkan lonjakan kasus kejahatan di tengah tekanan ekonomi.

Kita tahu, ekonomi yang lesu bisa mendorong sebagian orang mencari jalan pintas. Jika pasar tradisional makin kehilangan pengunjung dan pendapatan keluarga makin menurun, potensi kriminalitas akan meningkat. Bukan hanya pencurian atau perampokan, tetapi juga konflik horizontal di tingkat lokal.

Selain itu, kesenjangan ekonomi berpotensi melebar. Data BPS menunjukkan Gini Ratio sempat turun ke 0,379 pada Maret 2024, tetapi naik lagi menjadi 0,381 pada September 2024. Angka kecil ini berarti besar: ketimpangan distribusi pendapatan kembali meningkat. Dan kita tahu, ketimpangan adalah bom waktu sosial.

Daya Saing Bangsa di Ujung Tanduk
Persoalan ini bukan sekadar nasib pedagang pasar. Jika dibiarkan, Indonesia bisa kehilangan daya saing jangka panjang. Biaya logistik kita masih tinggi; peringkat Logistics Performance Index turun dari posisi 46 (2018) menjadi sekitar 61 (2023). Artinya, barang yang diproduksi UMKM kalah kompetitif sejak awal.

Di pasar online, pedagang menghadapi tekanan ganda: ongkos logistik yang mahal dan biaya platform yang terus naik. Pada akhirnya, hanya pemain besar yang bisa bertahan. Keberagaman pelaku usaha hilang, ekonomi semakin terkonsentrasi, dan daya saing ritel lokal melemah.

Siapa yang Paling Rentan?
Dari berbagai jenis usaha, ada tiga kelompok yang paling rentan. Pertama, jasa sederhana yang mudah diduplikasi, seperti ganti baterai jam atau servis ringan. Kedua, pedagang komoditas standar yang berhadapan langsung dengan barang pabrikan di e-commerce. Ketiga, pelaku usaha di daerah dengan ongkos logistik tinggi, terutama di luar Jawa.

Mereka inilah yang paling cepat terdorong keluar dari pasar, atau terjebak dalam siklus utang dan kerugian.

Apa yang Bisa Dilakukan?
Pertama, pemerintah perlu mendorong model online to offline (O2O) berbasis komunitas. Bayangkan sebuah etalase digital resmi untuk Pasar Badak Pandeglang, misalnya, yang menghubungkan pedagang pasar dengan konsumen online, lengkap dengan gudang mini dan pick-up point di pasar. Dengan begitu, ongkos logistik bisa ditekan, dan pasar tradisional punya wajah baru di dunia digital.

Kedua, diperlukan subsidi adopsi digital yang presisi. Bukan sekadar pelatihan seremonial, tetapi dukungan nyata seperti voucher ongkos kirim, bantuan foto produk, dan iklan berbayar untuk pedagang pasar.

Ketiga, transparansi biaya platform harus dijaga. Dialog antara pemerintah, asosiasi e-commerce, dan pelaku UMKM perlu dilakukan rutin untuk menetapkan batas wajar take rate, khususnya untuk kategori kebutuhan pokok.

Keempat, revitalisasi pasar harus dilakukan bukan hanya fisik, melainkan juga fungsional. Pasar tradisional bisa dikembangkan sebagai pusat layanan komunitas: tempat servis cepat, jasa khusus, hingga acara rutin UMKM lokal. Dengan begitu, masyarakat tetap punya alasan untuk datang ke pasar, bukan hanya berbelanja, tetapi juga berinteraksi.

Harapan dari Tukang Servis Jam
Kembali ke tukang servis jam di Pasar Badak. Ia mungkin tidak lagi bisa bersaing dalam hal harga baterai jam dengan toko online. Tetapi ia bisa menawarkan sesuatu yang tidak bisa diberikan e-commerce: keahlian, garansi, dan sentuhan personal.

Jika pemerintah, platform, dan masyarakat bisa bersama-sama menata ulang ekosistem perdagangan ini, pasar tradisional tidak harus mati. Ia bisa bertransformasi, menjadi ruang yang relevan di tengah arus digital.

Penutup
Pasar tradisional adalah urat nadi ekonomi rakyat. Ia bukan hanya ruang jual-beli, tetapi juga simpul sosial, tempat pertemuan, dan jaring pengaman bagi jutaan keluarga.

Di era e-commerce, pasar memang berada di persimpangan jalan. Jika kita memilih diam, maka ia perlahan akan mati, meninggalkan luka sosial: pengangguran, kriminalitas, kesenjangan, dan hilangnya daya saing bangsa. Namun jika kita berani menata, pasar bisa hidup berdampingan dengan digital, menjadi fondasi ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dan mungkin, suatu hari nanti, tukang servis jam di Pasar Badak bisa kembali berkata dengan bangga: “Usaha ini tidak hanya cukup untuk makan, tapi juga memberi masa depan.”

Leave a Reply

Sketsa