Tahun
2045 akan menjadi momen bersejarah: satu abad Indonesia merdeka. Istilah
Indonesia Emas 2045 sering digaungkan sebagai simbol harapan lahirnya bangsa
yang maju, adil, makmur, dan berdaya saing global. Namun, untuk sampai ke sana,
kunci utamanya ada pada kualitas generasi muda hari ini—Generasi Z dan Generasi
Alpha.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2030 Indonesia akan memasuki
bonus demografi, dengan 70 persen penduduk berada pada usia produktif.
Diperkirakan, pada 2045 sebagian besar posisi kepemimpinan, baik di
pemerintahan, industri, maupun masyarakat sipil, akan dipegang oleh mereka yang
kini kita kenal sebagai Gen Z dan Gen Alpha. Artinya, apa yang kita tanamkan
pada mereka sekarang akan sangat menentukan wajah Indonesia seratus tahun
setelah proklamasi.
Namun, tantangan besar kini menghadang. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
tahun 2022 hanya berada pada skor 34 dari 100 menurut Transparency International,
menempatkan Indonesia di peringkat 110 dari 180 negara. Fenomena korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) masih merajalela, memperlihatkan rendahnya
integritas publik. Dalam banyak hal, demokrasi kita juga kerap tersandera oleh
oligarki: segelintir elite politik dan ekonomi yang lebih dominan dalam
menentukan arah bangsa dibanding suara rakyat. Kondisi ini menciptakan krisis
keteladanan di hadapan generasi muda.
Pertanyaannya, bagaimana kita menyiapkan Gen Z dan Alpha agar mampu mewarisi
negeri ini tanpa mengulang penyakit lama yang menggerogoti bangsa?
Gen Z: Singkat, Visual, dan Interaktif
Generasi Z (lahir sekitar 1997–2012) adalah generasi yang tumbuh dengan gawai
di genggaman. Mereka sering dijuluki digital natives, karena sejak kecil sudah
terbiasa dengan internet, media sosial, dan informasi instan. Riset McKinsey
(2018) bahkan menyebut Gen Z sebagai “true digital generation”, yang mengakses
dunia lebih banyak melalui layar daripada interaksi langsung.
Ciri utama gaya belajar Gen Z adalah visual dan interaktif. Mereka menyukai
video, infografis, hingga konten yang singkat namun menarik. Konsentrasi mereka
relatif pendek; studi dari Microsoft (2015) mengungkapkan rata-rata atensi Gen
Z hanya sekitar 8 detik, lebih rendah dibanding generasi sebelumnya.
Maka, strategi belajar yang efektif bukanlah metode ceramah panjang, melainkan
microlearning: materi singkat, fokus, dan mudah dipahami. Platform seperti
YouTube, TikTok, atau aplikasi pendidikan daring menjadi lahan subur bagi
pembelajaran mereka. Diskusi virtual, simulasi interaktif, dan gamifikasi juga
terbukti mampu menjaga motivasi belajar.
Namun, tantangannya adalah kedangkalan pemahaman. Informasi yang cepat dan
instan kadang tidak memberi ruang refleksi. Karena itu, pendidik dan orang tua
harus menyeimbangkan antara akses cepat informasi dengan pengembangan berpikir
kritis dan literasi mendalam.
Gen Alpha: Eksperiensial dan Berbasis Teknologi Canggih
Jika Gen Z lahir bersama media sosial, maka Generasi Alpha (lahir sekitar 2013 ke
atas) adalah generasi yang tumbuh bersama kecerdasan buatan (AI), realitas
virtual (VR/AR), dan teknologi yang kian personal. Deloitte (2020) memprediksi
Gen Alpha akan menjadi generasi paling terdidik, paling kaya secara ekonomi,
sekaligus paling akrab dengan teknologi sepanjang sejarah manusia.
Ciri belajar mereka adalah eksperiensial—belajar dengan melakukan (learning by
doing). Mereka lebih mudah memahami konsep melalui simulasi, permainan, atau
pengalaman langsung dibanding hanya membaca atau mendengar.
Bayangkan kelas di masa depan: siswa mengenakan headset VR untuk menjelajahi
candi Borobudur secara virtual, atau menggunakan aplikasi AI untuk
mempersonalisasi jalur belajar sesuai minatnya. Inilah dunia belajar Gen Alpha.
Namun, di balik peluang itu, ada risiko besar: individualisme digital. Terlalu
banyak berinteraksi dengan layar dapat mengurangi empati sosial. Karena itu,
pembelajaran Gen Alpha harus tetap mengedepankan nilai kemanusiaan, empati, dan
kebersamaan, agar mereka tumbuh bukan hanya sebagai generasi cerdas, tetapi
juga peduli pada sesama.
Cerdas Saja Tidak Cukup: Karakter sebagai Pondasi
Sejarah menunjukkan, bangsa maju bukan hanya karena ilmu pengetahuan dan
teknologi, tetapi juga karena karakter warganya. Jepang, misalnya, tidak hanya
unggul dalam inovasi, tetapi juga dalam disiplin dan etos kerja.
Generasi Z dan Alpha harus dibentuk bukan hanya agar pintar, melainkan juga
berakhlak. Ada tiga aspek utama yang perlu diperhatikan:
Tanggung Jawab dan Integritas.
Gen Z harus dilatih untuk terlibat dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar
menjadi penerima instruksi. Pola dialogis akan menumbuhkan rasa tanggung jawab.
Literasi Digital dan Etika.
Menurut laporan We Are Social (2023), rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3
jam 11 menit per hari di media sosial. Tanpa etika digital, generasi muda rawan
terjebak hoaks, ujaran kebencian, atau penyalahgunaan teknologi.
Empati dan Kepedulian Sosial.
Untuk Gen Alpha, pembiasaan sejak dini dengan reward positif dan kegiatan
sosial penting agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang tidak hanya cerdas,
tetapi juga peduli.
Dengan kombinasi kecerdasan dan karakter, generasi ini akan mampu menjadi
pemimpin yang visioner, adil, dan berintegritas.
Menjawab Krisis Integritas di Tengah Oligarki
Korupsi di Indonesia bukan sekadar perilaku menyimpang individu, melainkan
sudah menjadi persoalan sistemik. Transparency International melaporkan bahwa
skor IPK Indonesia turun dari 38 (2019) menjadi 34 (2022). Penurunan ini
mencerminkan semakin rapuhnya integritas publik.
Di sisi lain, fenomena oligarki politik—sebagaimana ditulis Jeffrey Winters
dalam bukunya “Oligarchy” (2011)—menjadi tantangan serius bagi demokrasi.
Ketika kekuasaan terkonsentrasi pada segelintir elite, ruang partisipasi publik
menjadi sempit. Generasi muda kerap melihat kenyataan bahwa meritokrasi kalah
oleh nepotisme, sementara jabatan lebih sering diwariskan ketimbang diraih
lewat kompetensi.
Inilah realitas pahit yang harus disikapi. Jika tidak diatasi, generasi penerus
bangsa akan mewarisi sistem yang pincang. Maka, pendidikan harus hadir bukan
hanya untuk mencetak pekerja terampil, melainkan juga untuk melahirkan warga
negara dengan integritas tinggi, yang berani berkata tidak pada praktik KKN.
Menuju Indonesia Emas 2045
Visi Indonesia Emas bukan sekadar slogan. Dokumen RPJPN (Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional) 2025–2045 mencanangkan Indonesia menjadi negara
berpendapatan tinggi pada 2045. Untuk mencapainya, dibutuhkan generasi yang:
- Inovatif dalam teknologi, agar tidak hanya menjadi pengguna, tetapi juga
pencipta.
- Tangguh dalam persaingan global, dengan literasi tinggi dan etos kerja yang
kuat.
- Berkarakter kebangsaan, menjaga Pancasila sebagai fondasi moral dan identitas
bangsa.
Jika Generasi Z dibekali dengan pemikiran kritis dan literasi digital, dan
Generasi Alpha ditempa dengan pembelajaran berbasis pengalaman serta pembiasaan
nilai kemanusiaan, maka kita bisa berharap Indonesia bukan hanya menjadi negara
maju, tetapi juga bangsa yang beradab dan bermartabat.
Penutup: Menggemakan Semangat 1945
Bung Karno pernah berujar, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai
jasa pahlawannya.” Menghargai jasa para pendiri bangsa bukan hanya dengan
mengenang, tetapi juga dengan melanjutkan perjuangan mereka.
Generasi Z dan Alpha adalah para penerus estafet itu. Mereka bukan hanya calon
pemimpin masa depan, tetapi juga pemegang amanah kemerdekaan. Tugas kita hari
ini adalah memastikan mereka tumbuh dengan cara belajar yang sesuai zamannya,
dibekali sikap positif, dan berkarakter kuat.
Dengan begitu, pada 2045, ketika Indonesia genap berusia seabad, kita bisa
berdiri tegak sebagai bangsa yang bukan hanya cerdas dan modern, tetapi juga
bermoral dan beradab. Itulah arti sejati Indonesia Emas 2045.