Diberdayakan oleh Blogger.

Dari Pinjol ke Judol: Lingkaran Setan Kemiskinan Baru


posted by rahmatullah on , ,

No comments

 

Tragedi di Pandeglang, Banten, awal September lalu, menambah daftar panjang korban judi online. Seorang suami diduga menghabisi istri dan anaknya sebelum mencoba mengakhiri hidup sendiri. Motif yang disebutkan penyidik sederhana namun kompleks: jeratan utang dan judi daring. Beberapa bulan sebelumnya, kasus serupa terjadi di Ciputat, Tangerang Selatan, ketika satu keluarga berakhir tragis dengan alasan yang sama.

Kasus-kasus ini memperlihatkan bahwa judi online bukan sekadar persoalan moral, melainkan masalah sosial yang nyata. Ia merusak keuangan keluarga, mengganggu kesehatan mental, bahkan berujung pada kekerasan domestik dan kematian.

Demografi Pemain

Data Satgas Judi Online dan PPATK (2024) mencatat sedikitnya empat juta pemain judi daring di Indonesia. Sekitar 71 persen di antaranya berpenghasilan di bawah Rp5 juta per bulan. Dilihat dari usia, kelompok 30–50 tahun mendominasi (40 persen), disusul usia di atas 50 tahun (34 persen). Fakta lain yang patut dicatat: dua persen pemain berusia di bawah 10 tahun.

Gambaran ini menunjukkan bahwa praktik judi daring bukan monopoli kelompok muda, tetapi lintas generasi.

Usia

Persentase

Perkiraan Jumlah

<10 tahun

2%

±80 ribu

10–20 tahun

11%

±440 ribu

21–30 tahun

13%

±520 ribu

30–50 tahun

40%

±1,64 juta

>50 tahun

34%

±1,35 juta

(Sumber: PPATK/Satgas Judi Online, Juni 2024)

Dampak Sosial

Kerusakan yang ditimbulkan tidak berhenti pada hilangnya uang. Badan Pusat Statistik mencatat 1.572 perceraian pada 2023 dengan alasan utama judi daring, naik dua kali lipat dibanding 2020. Penelitian di beberapa daerah menemukan kaitan erat antara kecanduan judi dengan kekerasan dalam rumah tangga.

Dari sisi ekonomi, PPATK menaksir perputaran dana judi daring pada 2023 mencapai Rp327 triliun, angka yang berpotensi membengkak hingga Rp1.200 triliun pada 2025 bila tidak ada intervensi serius. Sumber dana sebagian besar berasal dari gaji rutin, tabungan, hingga pinjaman daring ilegal.

Mengapa Tetap Diminati?

Secara matematis, peluang menang dalam judi selalu lebih kecil dibanding kalah. Namun, rekayasa permainan digital—seperti efek 'hampir menang' atau ilusi kemenangan kecil—membuat pemain bertahan. Harapan akan 'sekali menang besar' menjadi alasan rasionalisasi yang menutupi kerugian berulang.

Bagi kelompok berpendapatan rendah, janji imajiner ini tampak seperti jalan keluar dari tekanan ekonomi, padahal justru memperdalam masalah.

Apa yang Harus Dilakukan?

Upaya pemerintah memblokir situs dan rekening patut diapresiasi, tetapi belum memadai. Judi daring adalah fenomena yang membutuhkan pendekatan komprehensif.

1. Regulasi dan penegakan: kerja sama lintas negara untuk menutup server, memperkuat payung hukum transaksi digital, dan menindak operator, bukan sekadar pemain.
2. Sektor keuangan: perbankan dan penyedia layanan pembayaran perlu memperketat pengawasan, membatasi kanal transaksi, dan menambahkan lapisan verifikasi.
3. Literasi masyarakat: pendidikan keuangan dan literasi digital sejak sekolah dasar, melibatkan orang tua, guru, dan tokoh masyarakat.
4. Layanan sosial: penyediaan konseling adiksi, jalur pengaduan KDRT terkait judi, serta mekanisme restrukturisasi utang untuk korban pinjol-judi.

Risiko Jika Dibiarkan

Tanpa intervensi, proyeksi lima tahun ke depan mengkhawatirkan. Perputaran dana ratusan triliun rupiah akan terus bocor ke aktivitas ilegal. Kasus perceraian, kekerasan domestik, dan kriminalitas terkait akan meningkat. Beban kesehatan mental publik bertambah, sementara kemiskinan struktural semakin dalam.

Penutup

Kasus Pandeglang dan Ciputat adalah peringatan keras. Judi daring bukan lagi isu pinggiran, melainkan ancaman nyata bagi ketahanan keluarga dan stabilitas sosial. Negara wajib hadir dengan kebijakan tegas, masyarakat perlu ikut membangun pagar sosial. Tanpa langkah bersama, tragedi serupa hanya tinggal menunggu waktu.

Leave a Reply

Sketsa