Diberdayakan oleh Blogger.

Generasi yang Tumbuh dengan Gula dan Nikotin


posted by rahmatullah on , ,

No comments


Anak-anak kita tumbuh di tengah banjir jajanan. Dari minuman berwarna mencolok yang ditumpahi gula berlebih hingga kudapan murah dengan MSG dan pengawet, semuanya tersedia di depan sekolah dengan harga terjangkau. Sementara itu, iklan rokok—meski dibatasi—masih merayap di layar kaca dan jalanan, menampilkan citra maskulin, keren, dan “dewasa”. Bagi anak SD hingga SMA, semua itu adalah godaan yang sulit ditolak.

Data terbaru tak bisa lagi disapu di bawah karpet. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat, 19,7 persen anak usia 5–12 tahun dan 16 persen remaja usia 13–15 tahun mengalami kelebihan berat badan atau obesitas. UNICEF menambahkan, konsumsi minuman berpemanis pada anak dan remaja Indonesia mencapai 54,6 persen per hari, sedangkan 42,5 persen mengonsumsi makanan manis setiap hari. Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ia adalah alarm keras tentang bagaimana generasi penerus bangsa perlahan dikepung oleh penyakit tidak menular sejak dini.

Masalahnya tidak berhenti di situ. Rokok, warisan panjang yang seakan tak pernah surut, kini menjerat anak-anak kita. SKI 2023 mencatat ada 70 juta perokok aktif di Indonesia, dan 7,4 persen di antaranya berusia 10–18 tahun. Itu berarti sekitar 5,9 juta anak dan remaja sudah menjadi konsumen nikotin. Lebih mengejutkan lagi, hampir 18,4 persen di antaranya mulai merokok sejak usia 10–14 tahun. Data ini sejalan dengan temuan The Indonesian Institute, yang menyebut jumlah perokok anak melonjak dari 4,1 juta pada 2018 menjadi 5,9 juta pada 2023.

Bayangkan, di saat negara-negara lain berlomba melindungi warganya dari tembakau, Indonesia masih berdebat soal batas iklan dan cukai. Ironis: satu-satunya negara di Asia yang hingga beberapa tahun lalu masih mengizinkan iklan rokok tampil di televisi pada jam anak menonton.

Produsen: Antara Profit dan Nurani

Kita bisa menunjuk hidung produsen. Mereka mengendalikan pasokan, promosi, hingga citra produk yang dikonsumsi anak-anak. Tetapi pertanyaan mendasarnya: apakah mereka sekadar pedagang yang mengejar untung, atau juga warga bangsa yang bertanggung jawab atas masa depan generasi?

Label gizi yang samar, iklan rokok dengan gaya hidup glamor, dan promosi minuman berpemanis yang menyasar remaja adalah bukti nyata bahwa tanggung jawab sosial sering kali kalah oleh kepentingan laba. Dalam logika industri, pasar anak dan remaja adalah segmen empuk: setia, mudah dipengaruhi, dan akan menjadi konsumen jangka panjang. Namun, ketika keuntungan jangka pendek didahulukan, siapa yang menanggung biaya kesehatan jangka panjang? Tentu saja negara—melalui anggaran kesehatan—dan keluarga miskin yang harus berjuang membiayai pengobatan.

Negara: Penjaga atau Penonton?

Negara punya instrumen untuk mengendalikan masalah ini: regulasi, cukai, pengawasan, bahkan larangan total. Namun, realitas di lapangan menunjukkan negara masih gamang. Kebijakan pengendalian iklan rokok misalnya, sering kali setengah hati. Padahal, bukti empiris jelas: larangan menyeluruh terhadap iklan rokok terbukti menurunkan prevalensi perokok anak di banyak negara.

Dalam urusan makanan dan minuman, Badan POM memang menetapkan batasan gula, garam, dan lemak. Tapi implementasinya lemah. Jajanan sekolah masih didominasi produk dengan kadar gula dan pewarna tinggi. Edukasi gizi yang digembar-gemborkan sering berhenti di baliho dan brosur, tak sampai pada perubahan perilaku nyata di kantin sekolah.

Jika negara tidak segera mempertegas sikap, kita hanya akan melihat tren obesitas dan perokok anak naik terus, sementara anggaran kesehatan membengkak. Data Kemenkes menunjukkan, biaya pengobatan penyakit tidak menular pada 2022 mencapai Rp27,4 triliun. Angka ini akan terus meroket seiring bertambahnya generasi muda yang sakit sebelum waktunya.

Peran Keluarga dan Sekolah

Keluarga seharusnya menjadi benteng pertama. Namun, bagaimana bisa jika orang tua sendiri masih memberi contoh buruk dengan merokok di rumah atau membiarkan anak jajan tanpa kontrol? Sekolah pun sering abai. Alih-alih mendidik, banyak kantin justru ikut menjual minuman berpemanis dan gorengan berulang kali pakai minyak.

Jika keluarga dan sekolah gagal menjalankan fungsi proteksi, maka anak-anak akan semakin mudah dibentuk oleh iklan dan produk yang membanjiri pasar.

Jalan Keluar: Kolaborasi Serius

Menyelesaikan masalah ini bukan sekadar soal moralitas individu, melainkan kebijakan struktural. Ada empat langkah mendesak:

1. Pencegahan – literasi gizi dan kampanye anti rokok sejak usia dini.
2. Pengawasan – inspeksi rutin dan label gizi yang sederhana, jelas, dan wajib.
3. Penindakan – sanksi tegas terhadap produsen dan penjual yang melanggar.
4. Rehabilitasi – program berhenti merokok bagi remaja serta konseling gizi bagi anak obesitas.

Langkah-langkah ini membutuhkan keberanian politik. Tanpa itu, industri akan terus melenggang, sementara negara dan masyarakat membayar mahal akibatnya.

Penutup

Gula dan nikotin adalah dua wajah berbeda dari masalah yang sama: lemahnya perlindungan terhadap anak. Generasi muda yang seharusnya tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya, justru dipertaruhkan oleh iklan dan jajanan murah.

Jika kita membiarkan anak-anak kita terus terpapar, kelak mereka akan tumbuh menjadi generasi yang sakit-sakitan, emosional, dan kurang produktif. Pertanyaan terbesar: apakah bangsa ini siap dipimpin oleh generasi yang rapuh sejak kecil?

Waktunya berhenti pura-pura tidak tahu. Negara, produsen, sekolah, keluarga, dan masyarakat harus bertindak. Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa kita adalah bangsa yang gagal melindungi anak-anaknya sendiri.

Leave a Reply

Sketsa