Gelombang demonstrasi dalam lima hari terakhir kembali mengguncang Indonesia. Dari Jakarta hingga Makassar, Surabaya, dan sejumlah kota lain, aksi yang mula-mula berjalan damai berubah menjadi kerusuhan. Gedung DPRD terbakar, rumah pejabat dijarah, dan fasilitas publik hancur. Insiden tragis tewasnya seorang pengemudi ojek daring di Jakarta menyalakan api kemarahan. Namun yang lebih memprihatinkan, aksi anarkis justru dilakukan oleh kelompok di luar massa inti demonstran. Mereka adalah penunggang gelap yang memanfaatkan celah.
Pertanyaan pun menggantung di ruang publik: di mana aparat intelijen dan kepolisian ketika massa oportunis dengan mudah mengobrak-abrik kota?
Anggaran Menggunung, Harapan Tinggi
APBN 2025 mencatat alokasi Rp245 triliun untuk Kementerian Pertahanan dan sekitar Rp106 triliun untuk Polri. Anggaran ini menempatkan sektor keamanan sebagai penerima porsi terbesar dari keuangan negara. Logikanya sederhana: dengan triliunan rupiah yang disediakan, negara mestinya mampu mendeteksi setiap potensi kerusuhan sejak dini. Intelijen negara—BIN, intel Polri, BAIS TNI—seharusnya bisa membaca siapa massa inti, siapa provokator, dan siapa kelompok oportunis yang menunggu kesempatan.
Tetapi harapan publik itu runtuh di lapangan. Penjarahan rumah pejabat, pembakaran kantor DPRD, hingga perusakan fasilitas publik terjadi tanpa deteksi dini. Aparat lebih sibuk menghadapi mahasiswa dengan gas air mata dan barikade ketimbang mengantisipasi kelompok oportunis yang bergerak setelah rombongan utama bubar.
Intelijen Absen di Titik Genting
Kegagalan paling mencolok adalah ketidakmampuan membedakan massa inti dengan massa anarkis. Mahasiswa membawa isu politik yang jelas, sedangkan kelompok perusuh muncul dengan agenda kriminal: menjarah dan membakar.
Di sinilah peran intelijen semestinya menentukan. Namun justru terlihat absen. Publik mendapati fakta pahit: anggaran yang besar tidak berbanding lurus dengan kecerdasan membaca dinamika sosial. Ketika kerumunan bubar, kelompok oportunis bergerak, dan aparat tertinggal satu langkah di belakang.
Mismatch Anggaran dan Kebutuhan
Fenomena ini memperlihatkan ketidaksinkronan antara alokasi anggaran dan kebutuhan nyata di lapangan.
- Fokus belanja salah arah: sebagian besar dana diarahkan ke pembelian alutsista dan peralatan keras, bukan ke pembangunan soft intelligence yang membaur dengan masyarakat.
- Fragmentasi lembaga: koordinasi BIN, Polri, dan TNI lemah, sehingga informasi tidak menyatu.
- Paradigma represif: aparat lebih terlatih menghadapi kerumunan dengan cara membubarkan paksa, bukan mencegah atau meredam.
- Minim akuntabilitas: publik tidak pernah tahu sejauh mana dana intelijen digunakan secara efektif untuk mencegah konflik sosial.
Hasilnya, negara menggelontorkan triliunan rupiah, tetapi gagal di fungsi paling dasar: melindungi warga sipil dari kerusuhan.
Krisis Kepercayaan Publik
Ironi ini melahirkan defisit kepercayaan. Rakyat melihat negara begitu murah hati kepada aparat, tetapi begitu miskin dalam melindungi masyarakat. Polisi dianggap represif kepada mahasiswa, tetapi lengah menghadapi perusuh oportunis. Intelijen negara terlihat tumpul, padahal didukung anggaran raksasa.
Dalam jangka panjang, kegagalan ini berisiko merusak legitimasi negara. Anggaran keamanan bisa dipersepsikan hanya sebagai beban fiskal tanpa manfaat nyata.
Saatnya Mengubah Orientasi
Peristiwa lima hari terakhir harus menjadi cermin keras. Reformasi keamanan tak bisa lagi ditunda.
- Realokasi anggaran perlu diarahkan dari belanja peralatan keras ke penguatan intelijen sosial, pemantauan komunitas, dan pelatihan negosiasi.
- Koordinasi antarlembaga harus diperbaiki. Informasi BIN, Polri, dan TNI mesti menyatu dalam sistem peringatan dini yang terpadu.
- Transparansi penggunaan dana wajib ditingkatkan. Publik berhak tahu, untuk apa dana besar intelijen digunakan.
- Paradigma persuasif mesti dikedepankan. Aparat tidak cukup hadir dengan tameng dan gas air mata, melainkan hadir sebagai pihak yang mampu meredam dengan dialog dan pendekatan manusiawi.
Penutup
Kerusuhan demi kerusuhan mengajarkan satu hal: anggaran besar tidak otomatis menghadirkan keamanan. Tanpa intelijen yang cerdas, koordinasi yang rapi, dan orientasi yang tepat, negara hanya akan tampak gagah di atas kertas anggaran, tetapi rapuh di lapangan.
Triliunan rupiah telah dikeluarkan, namun anarkisme tetap tak terdeteksi.