Senja di Kampung Menes selalu datang seperti cerita lama yang kembali mengetuk. Cahaya jingga merayap di atap rumah panggung, menempel pada daun pisang yang masih menyimpan sisa air hujan siang. Di beranda, Abah duduk di kursi kayu yang bunyinya sudah akrab di telingaku. Asap rokok kreteknya membentuk gulungan tipis, lalu buyar ditiup angin. Dari tempat itu matanya memantau kami—anak cucunya—yang sibuk dengan layar kecil masing-masing.
“Arman! ka dieu anaking, Abah boga tatarucingan!” Aku menyimpan ponsel ke saku lalu mendekat. “Abah mah tara eureun tatarucingan. Ayeuna naon deui?”
Abah menyeringai, memperlihatkan gigi yang mulai ompong tapi senyum yang tetap hangat. “Tatarucingana: sabaraha budak di dieu anu masih bisa nyarita basa Sunda Banten siga kolot baheula?”. Aku terkekeh, sekaligus merasa tersentil. “Euleuh, Bah… budak mah nyarita téh bisa, ngan teu biasa.”
Abah menggeleng pelan. “Enya. Isuk kénéh Abah nempo si Dadang di lapang keur main ucing kuya, pas ditanya ‘ngaran kaulinan-na naon?’, manehna ngajawab: ‘Main kucing–kura-kura,’ ceukna.” Ia mendesah pendek. “Asa jauh bener ti carana urang nyebut.”
Di balik jendela, Dadang yang mendengar namanya dipanggil hanya melambaikan tangan tanpa melepas earphone. Di usianya yang baru sepuluh tahun, ia lebih fasih menyebut istilah rank dan season ketimbang nama permainan yang lahir dari tanah tempatnya tumbuh.
Malam turun bersama aroma pepes yang masih mengeluarkan wangi kemangi dari sela daun. Kami berkumpul di meja makan. Di tengah obrolan, sebuah “duk” terdengar dari teras: Dadang tersandung. Tangisnya pecah, nyaring.
Abah bangkit lebih cepat daripada yang kupikirkan. “Aduh, ieu budak! Tong ceurik, atuh. Ieu mah biasa wé, ngarana geh budak leutik!” Tangannya yang berbau tembakau mengusap kepala Bima perlahan sambil mengucapkan mantra.
Dadang malah semakin keras menangis. “Aku nggak ngerti omongannya Mbah! Aku nggak ngerti!”
Ayah Dadang mengangkat anaknya, lalu menatap Abah dengan senyum kecut. “Bahasanya terlalu susah untuk anak kecil, Yah.”
Abah memandang kami satu per satu. “Kuring mah teu nyarita kasar. Ieu basa indung.” Lalu ia menunduk. “Mun leuwih resep basa deungeun, nya kumaha deui.” Ia kembali ke beranda, langkahnya kecil-kecil, seolah menimbang tiap pijakan.
Keesokan paginya, embun masih menempel di daun pisang. Aku duduk menemani Abah, dua cangkir kopi tubruk mengepulkan uap tipis. Suasana pagi terasa utuh: ayam tetangga, suara sendok menabrak gelas, dan udara yang membawa bau tanah.
“Abah,” kataku pelan, “dulu Bapa dan Ema bilang Abah paling galak kalau kami tidak bisa bahasa Sunda. Tapi sekarang…”
Abah memutar gelas kopinya. “Jaman ayeuna mah béda. Abah ayeuna sok disebut ‘kolot’. Ceuk batur, ulah ngajarkeun budak basa kolot”
Kali ini Abah tidak memberiku tatarucingan, melainkan sebuah tembang pendek. Aku menirukannya, tetapi kesandung di bunyi “é” dan “eu” yang tak juga pas di lidahku. Abah tertawa—tawa yang serak namun hangat.
“Mana sora-na anaking? Ieu mah kawas ucing keur miceun anak! Coba deui, ulah sieun salah.”
Tawanya meredup ketika dua sepupuku lewat sambil berbisik, “Lagi belajar bahasa kuno.” Tidak keras, tetapi cukup untuk membuat sorot mata Abah meredup sejenak.
Beberapa minggu kemudian, keluarga besar berkumpul di panglawungan desa. Seorang paman dari Jakarta bercerita bangga bahwa anaknya yang masih SD sudah bisa tiga bahasa asing. Ia menyebut satu per satu dengan jemari tegak: Inggris, Mandarin, Jepang.
Abah duduk di pojok, mengamati tali rafia yang menggantung dari plafon. “Tapi teu bisa nyarita basa indung sorangan,” gumamnya. Hanya aku yang mendengarnya.
Sejak itu, aku mulai menyadari kekosongan baru di rumah. Bukan rumahnya yang sepi—televisi masih riuh, tawa video lucu masih meledak—tetapi di sela percakapan kami, bahasa ibu seolah tak lagi menemukan kursinya. Mana kerap berkata, “Pakai bahasa yang umum saja, biar anak-anak nyambung.” Bapa sesekali menimpali, “Yang penting sopan.” Obrolan berjalan lagi, tetapi terasa kehilangan “gigir”—tonjolan rasa yang dulu membuat cerita Abah renyah.
Suatu sore, Abah berkata, “Arman, Abah hayang ngalestarikeun basa Sunda Banten. Tapi ayeuna, Abah sorangan ngarasakeun hese, boro ka batur,anak incu sorangan teu daraekeun make.”
Aku menatapnya. “Maksud Abah?”
“Basa téh lain ukur tetembongan. Basa téh cara urang mikir, cara urang ningali dunya. Lamun basa leungit, cara mikir leungit ogé.”
Kata-kata itu menempel di kepala. Sejak hari itu aku mencatat ungkapan yang sering Abah ucapkan, juga peribahasa yang dahulu kerap kudengar tanpa benar-benar kupahami, seperti “Napsu teu daék buru, buru teu daék belek.” Aku merekam cara Abah mengatakan “enya” yang bisa berarti setuju, bisa juga sekadar “aku mendengar.”
Aku minta Abah bercerita tentang masa mudanya: bunyi alu menghantam lisung setiap subuh, bau bengkulay—aroma tanah setelah hujan pertama kemarau—yang menandai saat menanam, dan ucing kuya yang bukan sekadar lari-lari, melainkan aturan main dan strategi yang mengajarkan giliran serta akal. Abah berkisah sambil mengutik rokoknya, sementara dari dapur suara pais terdengar mendesis.
“Hidep ulah kaiket kana sieun ‘kolot’. Kolot mah tanda waktu, lain tanda salah,” katanya pada suatu pagi.
Aku mengangguk. Namun perubahan tetap datang seperti gemerisik yang makin lama menjadi angin. Mana makin sering mencampur bahasa Indonesia dan Sunda agar “anak-anak nyambung.” Aku mengerti niatnya. Tetapi pertanyaan Abah tentang “salahkah jujur disebut kolot?” terus bergema. Mungkin ini bukan perkara salah atau benar; mungkin soal bagaimana kita merawat.
Sampai suatu hari terjadi hal kecil yang mengubah suasana. Rahma—adik bungsuku—pulang dengan tugas membuat video permainan tradisional. Ia bertanya kepada Abah, aturan ucing kuya itu bagaimana.
Wajah Abah langsung berbinar, seperti lampu yang dinyalakan dari dalam. Ia mengajak Rahma dan Dadang ke lapang samping rumah.
“Kieu carana, sing hadé ngadengekeun. Nu ieu jadi ucing, nu dinya jadi kuya. Mun dikejar, tong gancang teuing—ngajaga wates.”
Ia menjelaskan aturan sederhana sambil menata batu-batu sebagai garis. Rahma mengulang, Bima ikut menirukan. Untuk pertama kalinya setelah kejadian di malam pepes itu, Bima menyebut beberapa kata Sunda pelan-pelan: “Keun heula… Awas…” dan tertawa ketika salah. Tawa itu menular. Di lapang kecil itu, bahasa ibu seperti pulang mencari tempatnya sendiri—bukan lewat kuliah panjang, melainkan lewat gerak dan guyon yang wajar.
Malamnya, Abah menepuk kepala Rahma. “Sing inget, basa téh rumah pikeun haté. Lamun rék indit jauh, bawa koncina: kecap-kecap nu ngajadikeun hidep apal kana diri sorangan.”
“Nuhun, Bah,” jawab Rahma.
Sejak peristiwa itu, hal-hal kecil mulai berubah. Kami tak tiba-tiba menjadi penutur yang fasih, tetapi keberanian untuk menyisipkan kata pulang. Di grup keluarga, aku mulai bertanya “Kumaha?” alih-alih “gimana?”, menulis “punten” saat memotong obrolan, menjawab “nuhun” ketika dibantu. Anak-anak awalnya tertawa, namun lama-lama ikut mencoba. Tidak harus benar; yang penting berani mengucap.
Di beranda, kursi kayu tetap berdecit, tetapi kini sering ada tiga cangkir: untuk Abah, untukku, dan untuk Bapa yang pelan-pelan membangunkan kosakata lamanya. Mana kadang duduk, menangkup cangkir teh panas, lalu menambahkan kenangan: dahulu Abah selalu memulai telepon dengan “Kumaha damang?” dan menutupnya dengan “sing salamet hirupna.” Kami tertawa, lalu diam sejenak—sebab kami tahu beberapa doa memang tidak punya padanan yang persis di bahasa lain.
Suatu kali Abah sakit tiga hari. Suaranya merendah seperti radio yang volumenya dipelankan. Namun saat kuminta ia bercerita lagi tentang masa mudanya di tepi Ciujung, ia menarik napas panjang dan mulai. Kata-kata itu mengalir, hangat, tak berat. Aku merekamnya—bukan hanya di ponsel, tetapi di kepala—agar jika beranda betul-betul sepi nanti, aku masih bisa memanggil suara itu dari ingatan.
Sekarang, setiap melewati beranda, aku seperti masih mendengar Abah menggoda: “Abah boga tatarucingan!” Aku bisa menebak arah jawabannya: pada hal-hal yang tak tampak tetapi hadir—rasa, pola, cara pikir. Dan aku sadar, yang nyaris kami hilangkan bukan sekadar kosakata, melainkan guyonan yang lahir dari konteks, nada yang hanya pas jika diucapkan dengan jarak yang tepat, dan bahasa yang memang tumbuh di sini.
Bahasa ibu tidak minta diagungkan. Ia hanya perlu dipakai: di meja makan, di teras, di lapang. Kadang setetes, kadang satu gayung; yang penting tidak padam. Maka aku terus belajar. Bukan untuk ujian, bukan untuk nilai, melainkan untuk merawat pintu yang menghubungkan kami dengan diri sendiri. Aku menyalin tatarucingan Abah, mencatat ejaan yang benar, dan mengajak adik-adik membiasakan salam dan pamit dalam Sunda Banten. Di sekolah atau kerja, kami memakai bahasa lain; tetapi pulang—ingat—ada rumah untuk hati, dengan kunci berupa kata-kata yang kami kenal sejak kecil.
Jika kelak anakku bertanya, mengapa Abah suka bilang “enya” atau kenapa “punten” terasa lebih mantap daripada “permisi”, aku akan menjawab: karena di kata-kata itu ada cara kami menghargai orang lain; ada cara kami mengukur jarak agar dekat tanpa menabrak. Dan jika ia meminta cerita tentang ucing kuya, kami akan ke lapang yang sama. Aku akan menyebut aturan sedikit demi sedikit dalam Sunda Banten, lalu menutup dengan tawa yang tidak perlu penerjemah.
Sore akan menutup pelan. Kursi kayu tetap menerima siapa pun yang datang membawa lelah. Dan bahasa… bahasa akhirnya tidak pergi. Ia hanya menunggu kami mengajaknya bicara lagi.
Glosarium ringkas
- Abah: panggilan kakek.
- Aing: aku/saya (ragam akrab-kasar, lazim di laki-laki/sepantaran).
- Dulur: saudara/kerabat.
- Basa indung: bahasa ibu.
- Tatarucingan: teka-teki.
- Ucing kuya: permainan tradisional “kucing–kura-kura”.
- Lapang: lapangan/halaman luas.
- Kolot: orang tua/sepuh; juga bermakna “kuno”.
Rujukan
Wawancara dengan penutur bahasa Sunda Banten, Menes–Pandeglang, Oktober 2025.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten. (2022). Profil Bahasa Daerah di Provinsi Banten.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (2023). Status Vitalitas Bahasa Daerah di Indonesia.
UNESCO, Atlas of the World’s Languages in Danger (diakses 15 Oktober 2025).