Diberdayakan oleh Blogger.

MISKIN MENTAL dan FISIK


posted by rahmatullah on

1 comment


Dalam bulir-bulir pemikiran Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah pada buku Teologi Penanggulangan Kemiskinan, dijelaskan bahwa krisis moneter pada tahun 1997 yang diikuti krisis ekonomi dan krisis politik, menjelma menjadi krisis baru, yakni kemiskinan sosial. Secara fisik kemiskinan ini ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk miskin, disertai jumlah pengangguran yang semakin membengkak, secara non-fisik, kemiskinan ini salah satu bentuknya adalah korupsi- yang kini menjadi masalah terbesar bangsa Indonesia.
Korupsi merupakan wujud kronis kemiskinan mental, dimana hampir setiap orang memiliki pragmatisme pemikiran aji mumpung, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya sebelum situasi ‘mapan’ beralih menjadi ketidakpastian. Sejalan dengan ilustrasi yang disampaikan Mochtar Lubis tentang karakter buruk laku sebagian masyarakat Indonesia, yaitu manusia -sok, “Kalau berkuasa mudah mabuk berkuasa, kalau kaya lalu mabuk harta, jadinya rakus”.
Korupsi hanyalah salah satu dari efek domino kemiskinan, di luar itu masih banyak dampak lain, seperti meningkatnya kriminalitas akibat pengangguran, maraknya penipuan berbagai kedok, menjamurnya anak jalanan, berlipatnya pengguna narkoba, fenomena stress yang berlanjut bunuh diri, eksploitasi alam secara tradisional dengan mengindahkan kaidah-kaidah rasional, dan lain-lain.

Kemiskinan Mental
Terdapat dua dimensi  kemiskinan yang terus menerus menghantui bangsa kita, andai tidak ada penyikapan yang tegas dan cerdas baik oleh pemerintah dan kita sebagai masyarakat selaku objek penderita. Pertama, kemiskinan mental yang meliputi dimensi moral, etika, akhlak, dan mental yang kemudian memperlemah daya saing sumber daya manusia Indonesia. Mental inilah yang sebenarnya faktor dominan dalam melakukan perubahan, yang kian lama justru kian luruh. Identitas masyarakat Indonesia yang pantang menyerah, menjunjung local wisdom, benci penindasan atau situasi ‘ketertindasan’, malah berubah drastis menjadi bangsa yang pasrah (fatalis), ‘banci’ kehilangan jati diri, jika meminjam istilahnya Syafii Ma’arif antara laku dan kata tidak pernah sama. Ini yang membedakan Bangsa Indonesia dengan Bangsa Jepang. Jepang dalam era modern tetap melandaskan kehidupannya pada kearifan lokal, semangat Kaizen yang merupakan ajaran Shinto menjadi landasan dalam laku dan langkah. Sedangkan bangsa kita, justru semakin modern semakin meluruhkan nilai-nilai jatidiri bangsa, bahkan melupakan titah-titah keraifan lokal yang sebagian besar bersumber dari ajaran agama.
 Andai kita analisis, sekuat apapun bangsa ini memiliki modal dan kekayaan, jika tidak memiliki mental, akhlak dan etika sampai generasi keberapapun akan tetap miskin, tentunya sudah banyak bukti karena malas berpikir dan bekerja, semakin hari kekayaan negeri ini mulai dari hutan, aneka tambang, flora fauna hingga pasir terkeruk semakin tidak bersisa, yang untung hanyalah cukong, preman-preman parlemen, pejabat pemberi izin, dan yang terkena dampak bencana mulai dari kemiskinan, kehilangan mata pencaharian, sember daya alam, dan yang betul-betul ‘disisakan’ hanyalah bencana alam, dan yang menjadi korban tentunya rakyat jelata.

Kemiskinan Fisik
Kemiskinan fisik, lazim disebut kemiskinan ekonomi atau struktural. Secara tidak langsung krisis yang berwajah multidimensi di berbagai bidang kehidupan selama beberapa tahun belakangan ini semakin menutup jalan keluar bagi kemiskinan.
Jika kita runut, ada empat pola kemiskinan; pertama, kemiskinan yang tergolong persisten poverty, kemiskinan yang berlangsung lama dan turun temurun, bisa disebut kemiskinan struktural. Kedua, cyclical poverty, kemiskinan yang mengikuti pola siklus pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Ketiga, seasonal poverty, kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan. Keempat, accidental poverty, kemiskinan yang diakibatkan oleh terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan.
Malangnya, keempat pola kemiskinan tersebut ada dan melanda bangsa kita. Secara turun temurun masyarakat kita memang miskin, ditambah pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah stabil, belum lagi musim yang kian sukar diprediksi, kapan datangnya hujan, kapan kemarau, kapan angin barat dan kapan angin timur, betul-betul semakin menyengsarakan petani dan nelayan kita, karena hari ini menanam padi tak taunya besok hujan, hari ini diperkirakan bisa melaut karena cuaca cerah, ternyata siangnya badai. Belum lagi masyarakat kita semakin terguncang jiwanya karena tiada hari tanpa ancaman bencana.
Hal yang paling membuat miris, mengutip Zukhairi Misrawi, selain negeri ini miskin, ternyata negara turut andil dalam ‘memiskinkan’, terbukti dengan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak pada rakyat, hingga akses untuk mendapat kesejahteraan sosial yang sebetulnya memang disediakan untuk rakyat seperti Askes Kin, Kartu Gakin, BOS, BLT, kredit usaha kecil dan sebagainya menjadi kian rumit diakses, karena aturan administratif yang berbelit-belit, dan birokrasi yang baru bekerja jika disuap.
Amat paradoks dengan tuntutan pemerintah, dimana sejak dulu rakyat diberikan penyuluhan bagaimana membajak sawah dengan menggunakan traktor, para nelayan dianjurkan melaut menggunakan perahu bermesin, di sisi lain harga solar dan bensin dinaikan semena-mena. Mereka yang tinggal di wilayah kumuh di gusur agar bisa hidup layak dengan dibangunkan rumah susun (Rusun), namun kenyataannya Rusun hanya bisa diakses oleh mereka yang ekonominya menengah ke atas, tidak usah heran jika di depan Rusun terparkir mobil-mobil mewah. Jika kita berpikir ideal, seharusnya semua pemimpin bangsa ini di makzul-kan (diturunkan dengan hina), karena melanggar amanat konstitusi, tidak memelihara fakir miskin, anak-anak terlantar, tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan justru semakin membuat curam disparitas sosial.

Keberhasilan di Masa Lalu
Jika diperbandingkan dengan keberhasilan Indonesia di bawah orde baru yang dalam tempo 25 tahun mampu melakukan pembanguan ekonomi spektakuler, parameternya adalah pembangunan dan kesejahteraan sosial. GNP Indonesia tahun 1966 sejumlah US$ 50 perkapita; artinya, jumlah tersebut hanya separuh dari GNP di negara-negara seperti India, Nigeria, dan Banglades. Namun, mulai tahun 1980-an GNP Indonesia meningkat menjadi hampir mencapai US$ 500 perkapita. Itu berarti 30 % lebih tinggi daripada GNP di India, 49 % lebih tinggi daripada GNP Nigeria, dan 150 % lebih tinggi daripada GNP Banglades (Bank Dunia 1990b).
Prestasi spektakuler Indonesia selama 25 tahun dalam pembangunan dan kesejahteraan sosial di bawah kekuasaan Soeharto (kita berpikir dengan menafikan pretensi apapun) sempat dikaji dalam seminar Internasional dengan tema “Kemiskinan dan Pembangunan di Indonesia” yang berlangsung di Hague, Belanda 9-10 April 1991, diprakarsai oleh Menteri Centre for Asian Studies Amsterdam (CASA). Pada saat itu Indonesia menjadi referensi dunia dalam keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Seminar tersebut untuk menyajikan tinjauan secara luas pandangan-pandangan terbaru tentang kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia, yang  menghadirkan 40 akdemisi dan pembuatan kebijakan di dunia.
Walau bagaimanapun ilustrasi diatas adalah Indonesia 16 tahun lalu, ketika menjadi rujukan dunia, berhasil secara sporadis menanggulangi kemiskinan dalam waktun singkat. Kunci keberhasilan orde baru dalam mensejahterakan rakyat adalah program terpola dan sistematis, selain itu masyarakat dituntut untuk disiplin dan sama-sama pemerintah mensukseskan visi bangsa. Tidak seharusnya Soeharto turun, lalu program-program Pelita, Repelita juga hancur tak berbekas. Saatnya kita bangkit dengan memulai dari memberantas kemiskinan akhlak, mental, moral dan etika. Karena kita punya banyak sejarah gemilang bagaimana bangkit dari berbagai keterpurukan.

1 comment

Leave a Reply

Sketsa