Diberdayakan oleh Blogger.

Archive for 01/08/10 - 01/09/10

LAUNCHING BUKU MEMBACA BANTEN MEMBACA INDONESIA


posted by rahmatullah on

No comments


Bedah Buku Perdana di Rumah Dunia

Pada akhirnya terwujud sudah salah satu mimpi membukukan kumpulan tulisan, terlebih ditengah-tengah waktu yang istimewa yaitu bulan ramadhan 1431 H. Buku yang di launchingkan tanggal 28 Agustus 2010 bertempat di Rumah Dunia, Serang merupakan naskah yang sudah dikumpulkan ramadhan setahun sebelumnya, dikarenakan tulisan-tulisan yang ada merupakan catatan dari berbagai peristiwa tentang Banten dan Indonesia sejak tahun 2007, yang secara kebetulan terpublikasikan di berbagai media, maka tidak ada salahnya jika catatan-catatan tersebut dihimpun dan diterbitkan, agar  monumen sejarah akan suatu peristiwa yang terkandung tetap bisa dijadikan sebagai referensi dan pelajaran.


Kendala tertundanya penerbitan selama satu tahun disebabkan proses panjang diskusi mengenai tulisan mana yang harus dimunculkan, layak dikonsumsi publik, tanpa harus mengkritik, konsrukstif, dengan tidak harus membuat sakit hati siapapun yang membacanya. Yang pada akhirnya dilakukanlah penyortiran sekaligus pengurangan 10 artikel.



Nomena Sebuah Buku
Teradapat dua intisari dalam buku Membaca Banten, Membaca Indonesia (Membangun Karakter Menebar Pemikiran). Intisari pertama, buku ini ibarat sebuah miniatur atau monumen, dimana ketika kita ingin tahu Indonesia, maka bisa dilihat dari kondisi kelokalannya dalam konteks ini adalah banten, karena kondisi lokal pada dasarnya mewarnai nasional, baik dari sisi politik, sosial, budaya dan pendidikan, yang tentunya dalm buku ini dikupas berdasarkan kapasitas keilmuan penulis masing-masing. Selain itu buku ini tidak melulu membahas masalah kebantenan, juga membahas masalah keindonesiaan, sebagai bentuk catatan beberapa peristiwa nasional dalam mindset lokal.
Gol A Gong beserta keempat Penulis (Rahmatullah, Abdul Hamid, Zainal Muttaqin, Abdul Malik)

Intisari kedua dalam buku ini adalah mengenai “Jiwa buku", tidak banyak sebuah buku disusun oleh 4 orang laki-laki yang merupakan saudara kandung, maka tidak aneh jika Gol A Gong melukiskannya dengan istilah ‘empat jawara seperguruan’. Yang menjadi nomena bukan pada empat bersaudaranya melainkan pada bagaiman proses membangun karakter sehingga keempat-empatnya memiliki kemampuan dan keberanian dalam mengupas, menganalisa, menuliskan dan mempublikasikannya. Hal yang jauh lebih ditekankan dibalik semua ini adalah mengantarkan pada satu pemikiran, bagaimana proses orang tua mendidik, sehingga mampu melahirkan anak-anak yang memiliki kapasitas dalam menulis dan memberikan warna serta kontribusi pada lingkungan terdekatnya. Bukan sebaliknya biasanya saudara sekandung terlebih itu laki-laki identik dengan konflik, perselisihan, iri, perebutan warisan, dan sebagainya. Pesan terbesar dalam buku ini adalah bagaimana membangun karakter dimulai dari keluarga. 


Setidaknya ada pesan dalam buku ini, bahwa jangan berharap kita merubah lingkungan, masyarakat dan negara jika belum mampu memulai perubahan tersebut pada menumbuhkan identitas, sikap pada anggota keluarga. Jangan heran jika saat ini banyak pejabat publik yang istrinya adalah sosialita yang rajin belanja, anaknya pecandu narokoba, yang pada akhirnya terpaksa membuat pejabat publik tersebut melakukan praktik korupsi karena desakan pola hidup konsumtif keluarga, padahal pejabat publik tersebut dikenal ‘religius’.

Jalannya Soft Launching

Soft Launching, sengaja dilaksanakan di Rumah Dunia milik Novelis Gol A Gong yang banyak melahirkan novelis muda Banten maupun Indonesia. Tidak disangka acara yang dimulai pukul 16.30 sampai dengan datangnya waktu berbuka, dihadiri banyak peserta, bahkan diantaranya tidak mendapatkan tempat duduk. Berbagai elemen masyarakat menghadiri launching tersebut mulai dari ketua RT dan RW setempat, tokoh banten seperti mantan direktur Bank Bukopin Bapak Muchtar Mandala, Mantan direktur PT. Krakatau Steel,  Bapak Daenulhay, wartawan banten, sastrawan, pelajar dan mahasiswa banten.

Launching sendiri dimoderatori oleh Gol A Gong, dibedah secara ringkas oleh Bapak Gandung Ismanto (Dosen Universitas Tirtayasa) dan Bapak Embay Mulya Syarif (Tokoh Banten) dan sebagai pembedah dari perwakilan penulis adalah Abdul Hamid. Menjelang sesi tanya jawab Ibu Mursinah selaku Ibu dari keempat penulis memberikan testimonial mengenai bagaimana proses membangun karakter dalam keluarga yang pada akhirnya anak-anak yang telah dilahirkan mampu mewujudkan mimpi seorang ibunda.
Ibu dari Keempat Penulis

Pada dasarnya tidak ada yang istimewa dalam buku ini, karena buku ini tidak jauh berbeda sebagaimana buku-buku lainnya, hanya hal yang menarik adalah proses mebangun karakter dan identitas penulis, dan kemampuan 'mengikat' monumentum yang terangkum, merupakan sejarah berharga akan berbagai peristiwa yang bisa dijadikan sebagai pelajaran bagi masyarakat banten khususnya dan masyarakat Indonesia.  Selamat membaca… dan menciptakan sejarah baru.

MEMBACA BANTEN, MEMBACA INDONESIA


posted by rahmatullah on

2 comments



EMPAT JAWARA SEDARAH DAN SEPERGURUAN DARI PANDEGLANG MENULIS BUKU “BANTEN BANGKIT #2: MEMBACA BANTEN, MEMBACA INDONESIA” SEBAGAI KADO OTAK UNTUK SEPULUH TAHUN BANTEN
Setelah menjadi Provinsi, Banten mengalami dinamika di berbagai bidang. Di bidang politik, terdapat pemusatan kekuasaan yang kemudian bertransfomasi menjadi klan politik. Kemasan dari kepemimpinan yang bersumber dari klan ini bisa jadi adalah kepemipinan kaum muda. Mitos lama yang dikemas demi kepentingan politik sebuah kelompok. Hal ini tumbuh diikuti kegagalan partai-partai politik di tingkat lokal dalam menjalankan fungsi dan peranannya.
Di bidang sosial terdapat banyak dinamika: tumbuhnya media massa lokal, disparitas kaum sejahtera dan kaum papa, serta kurang berhasilnya peran kaum swasta (bayak sekali indistri di banten) dalam menjalankan tanggungjawab sosialnya (baca: Corporate Social Responsibility). Padahal Banten memiliki semua syarat untuk menjadi salah satu daerah terkaya di Indonesia. Aspek lain yang harusnya menjalankan peran utama adalah pendidikan. Namun dunia pendidikan tak putus dirundung persoalan. Problematika sertifikasi guru, link and match, politisasi dunia pendidikan sampai kegagalan peran sosial perguruan tinggi menjadi dinamika serius dalam dunia pendidikan.
Ketiga hal diatas: politik, sosial, dan pendidikan yang menjadi sorotan Abdul Malik, Zainal Mutaqin, Abdul Hamid, dan Rahmatullah di buku seri “Banten Bangkit #2: Membaca Banten, Membaca Indonesia” (Gong Publishing, Agustus 2010).  Keempat jawara sedarah dan seperguruan asal Pandeglang ini mencoba mengedepankan otaknya untuk  mengembalikan kejayaan Banten masa lalu lewat tulisan. Setelah pensiun sebagai Redpel dan Litbang Radar Banten, kini Abdul Malik menjbat ketua Prodi Ilmu komunikasi Unsera. Adiknya,  Zainal Mutaqin kini PNS di Bappeda Pandeglang. Disela karir birokrasinya, Zainal masih  mengajar di Untirta, STIA Banten dan STIE Banten, disamping menjadi pembicara pada beberapa diskusi dan seminar di Banten.  Pada September 2010 ini Zaenal akan kembali meninggalkan tanah air melanjutkan studi PhD-nya pada Development Policy Study, IDEC Hiroshima berkat beasiswa dari Bappenas dan JICA. Jawara berikutna, Abdul Hamid, mengajar di Jurusan Ilmu Politik FISIP UI dan Prodi Administrasi Negara Untirta setelah pencalonannya sebagai Calon Anggota DPD RI kandas pada tahun 2004. Jawara termuda, Rahmatullah, saat ini masih belajar CSR, CD dan Kemiskinan pada Program Pascasarjana Ilmu Kesejaheraan Sosial FISIP UI, bermodalkan beasiswa Building Professional Social Worker (BPSW) New York. Tulisan terkait masalah sosial, kemiskinan, CSR, Microfinance, dll, yang terpublikasikan di berbagai media, terangkum dalam blog : www.pekerja-sosial.blogspot.com.
Ketika ditanya tujuan penulisan buku ini, Hamid melontarkan kekesalannya seperti saat diskusi po “Politik Dinasti“ di Rumah Dunia, akhir Desember 2009. “Kami sudah bosan takut!“ Alasan itulah yang membuat mereka berkumpul kembali di kampung halaman, berikhtiar memajukan perguruan Banten ke arah lebih baik. Buku ini sebagai kado mereka untuk sepuluh tahun Banten. Suatu saat, impian mereka akan terwujud! Banten pasti bangkit!
 Selama ini keempat jawara malang-melintang di rimba pertulisan lokal dan nasional. “Saya merasa tersanjung bisa menerbitkan buku empat jawara sedarah dan seperguruan ini,” aku Gol A Gong, Direktur Gong Publishing. “Mereka calon penimpin Banten masa depan, yang akan mengedepankan otak, ketimbang otot. Gagasan-gagasan kelokalan mereka bernas. Asli lokal, tapi mengglobal!”
Buku seri “Banten Bangkit #2: Membaca Banten, Membaca Indonesia” ini akan diluncurkan pada acara “Nyenyore ala Rumah Dunia”, Sabtu 28 Agustus 2010, pukul 16.00 – 17.30 WIB. Diskusi sambil buka puasa. Gratis. Silahkan Gabung. Gong juga menginformasikan, bahwa setelah lebaran seri buku “Banten Bangkit #3: Membangun Peradaban Baru”, yang ditulis 25 wong Banten akan terbit.
*** 
APA KATA MEREKA TENTANG
KEEMPAT JAWARA PENA
DARI PERGURUAN PANDEGLANG

Ibarat makanan, buku ini enak sekaligus menyehatkan. Isinya yg membahas isu-isu sosial dan politik, termasuk pendidikan niscaya membuat buku ini sangat bermanfaat utk memahami situasi sosial politik akhir2 ini. Dengan bahasa dan gaya penyampaian yg mudah dipahami, membuat buku ini enak dibaca. Yg tak kalah penting pula adalah keempat aktivis cum intelektual yang muda dan bersemangat selaku penulis... ternyata adalah kakak beradik seayah dan seibu (Ibnu Hamad, Profesor bidang Ilmu Komunikasi FISIP UI)
”Buku ini merupakan bukti nyata ikhtiar mereka untuk melakukan perubahan di lingkungan masing-masing. Semuanya dapat menjadi karya yang dapat berumur sejarah, yang dapat melampau umur biologis mereka.  Hidup seseorang bisa berhenti kapan pun, buku sebagai karya seseorang akan abadi. Saya yakin, kumpulan esai ini akan melecut mereka agar lebih giat lagi untuk mencetak karya-karya berikutnya, setidaknya bagi keluarga mereka. (Ahmad Mukhlis Yusuf, Direktur LKBN Antara)
”Ini langkah awal untuk melakukan hal yang jauh lebih strategis dan bermanfaat dari sekadar menerbitkan buku. Lima atau sepuluh tahun ke depan mereka akan mampu mewarnai Banten, atau bahkan Indonesia.” (Ir. Agus Tauchid, S. MSi Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi  Banten)
Agenda:
Launching “Banten Bangkit #2: Membaca Banten, Membaca Indonesia” akan diluncurkan pada acara “Nyenyore ala Rumah Dunia”, Sabtu 28 Agustus 2010, pukul 16.00 – 17.30 WIB. Diskusi sambil buka puasa. Gratis.
copywrite: Gol A Gong

PUASA UNTUK SIAPA?


posted by rahmatullah on

4 comments



Entah mengapa setiap menjelang bulan Ramadhan, saya selalu teringat akan sebuah buku karangan Jalaludin Rakhmat (Kang Jalal) yang judulnya “ Madrasah Ruhaniah; Berguru Pada Ilahi di Bulan Suci”. Buku itu sudah menemani saya terbilang 5 (lima) tahun, karena saya beli tahun 2005, sejak saya kuliah di jatinangor, bekerja di Kalimantan dan saat ini tinggal sementara di Depok, buku Kang Jalal selalu menjadi bagian tak terpisahkan menjelang dan saat Ramadhan.
Bukan berarti timbul paham fanatisme atau memuliakan buku melebihi  buku atau kitab yang lain, Naudzubillah. Alasan saya membaca dan memaknai Buku Madrasah Ruhaniah adalah karena buku tersebut mengantarkan kita pada ajaran memanusiakan manusia, menghidarkan dari ego spiritual, sebagaimana selama ini buku-buku lain mengarahkan kita menjadi shaleh secara individu tapi menafikan kesalihan sosial. Menjadi pribadi-pribadi yang selalu tengadah karena terlalu ego akan spitualitas vertikal, dan menisbikan spiritualitas sosial – horizontal - .  Selama ini kita terbiasakan untuk mengejar target-target ibadah mulai dari tadarus, qiyamul lail, pesantren kilat, I’tikaf yang tidak lepas dari masjid ke masjid dan individu sentris, namun kita terlupa untuk menengok tetangga, saudara, atau orang-orang yang memang membutuhkan uluran tangan kita.
Baiklah, saya hanya berusaha mencoba meresensi Buku Madrasah Ruhaniah, diambil dari pengantar yang dibuat oleh Kang Jalal. Moga dari sekedar pengantarnya membawa kita pada nuansa baru akan spirit hakikat Ramadhan.
*****
Puasa dengan persembahan untuk Tuhan. Seorang anggota jamaah - sebut saja Fatimah – mengadu kepadaku, “Setiap kali masuk Ramadhan, saya merasa sedih. Saya bertambah sedih karena saya merasa sedih. Bukankah kata Pak Ustad, Rasulullah dan sahabatnya menyambut Ramadhan dengan gembira”. Matanya berkaca-kaca dan hidungnya memerah. Aku yakin dia menangis beneran. Betapa sering aku menemukan dalam majlis-majlis pengajian, ustad yang menangis bohongan dan pendengar yang menangis beneran.
“Apa yang menyebabkan Ibu menangis”, tanyaku.
“Saya seperti orang pulang kampung, saya ingin membahagiakan keluarga saya. Saya ingin memberikan hadiah berharga buat mereka. Tetapi saya miskin. Saya tidak punya apa-apa yang berarti. Yang teronggok di punggung saya hanyalah kotoran. Ramadhan mengantarkan saya pada Tuhan, kampung halamanku. Saya ingin membuat Tuhan ridha kepadaku. Tapi saya tidak membwa apa-apa. Diatas punggung saya teronggok dosa dan dosa!”. Isakannya makin keras. Giliran ustad ikut menangis, dan kali ini menangis beneran.
“ Tidak perlu bersedih, Bu” Kataku setengah hati. Setengah hatiku membisu dalam kesedihan. “Jika kita menemui Ramadhan tanpa bekal, marilah kita jadikan bulan ini untuk mengumpulkan hadiah-hadiah yang berharga untuk Tuhan. Jika kita datang dengan onggokan dosa, marilah kita campakkan dosa-dosa itu dengan tobat kita”. Seperti biasa, dengan cepat aku bermetamorfosis dari seorang konselor menjadi seorang khatib. Tampaknya lebih mudah berkhutbah daripada berempati.
“Itu juga yang menambah dukaku, Ustad. Setiap Ramadhan ketika semua orang berusaha untuk tarawih setiap malam, saya sering meninggalkannya. Ketika tetangga-tetangga bercerita bahwa mereka sudah menyelesaikan sekian Juz Al-Quran, saya gak bisa ngomong. Satu juz pun tidak sempat saya baca. Pada Lailatul Qadar, kawan-kawan saya bisa bermalam-malam I’tikaf di masjid, bahkan ada yang berumrah ke Tanah Suci, saya tidak sanggup meningalkan pekerjaan saya”.
“Apa pekerjaan ibu di bulan Ramadhan?”, tanyaku.
“Saya ini orang kaya, tumbuh besar dalam keluarga kaya. Di rumah saya punya banyak pembantu. Di kantor saya punya banyak pegawai. Kemana pun saya pergi, saya dilayani orang. Pada bulan puasa ini, saya ingin melayani orang. Saya ingin berkhidmat pada orang-orang kecil. Saya menyiapkan makanan untuk orang-orang miskin. Saya berbelanja, memasak, membungkus, dan mengantarkan makanan itu ke rumah-rumah mereka. Bakda isya, setelah usai membagikan makanan, saya pulang dalam keadaan lelah. Saya segera tidur pulas. Pada lailatul qadar, saya tidak saja membagikan makanan untuk buka, tetapi juga untuk sahur. Saya begadang juga, Ustad, tapi tidak di masjid. Melainkan di tempat-tempat kumuh”.
“Jadi, pada waktu ‘Id, ketika kaum Muslimin yang lain bergembira karena mampu mengumpulkan hadiah yang berharga untuk Tuhan – Khatam Al-Quran, lengkap shalat tarawih, banyak I’tikaf, dan berzikir – saya sedih lagi. Mereka berhasil ‘menangkap’ anugerah Tuhan di bulan Ramadhan; saya tidak!”.
Puasa dengan Pengkhidmatan. Ibu Fatimah merasa sedih karena ibadah Ramadhannya berbeda dengan kebanyakan orang. Ia sedih karena tidak sanggup dan tidak sempat bertarawih, bertadarus, ber I’tikaf, dan berzikir bersama. Ia menganggap bahwa hadiah yang paling berharga untuk Tuhan adalah ibadah, dalam makna ritual.
Alkisah Nab Musa a.s bermunajat kepada Tuhan. Sang Maha Suci bertanya. “Hai Musa, banyak sekali ibadahmu, yang mana untuk-Ku?”. Musa terkejut mengapa Dia bertanya tentang ibadahnya, sebab semua ibadahnya untuk Tuhan: “Shalatku, hajiku, Qurbanku dan dzikirku”.
Tuhan berkata “Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku”?. Musa bingung dan berkata: “Tunjukkan pada hambamu yang lemah ini, mana ibadahku untuk-Mu!”. Tuhan berkata “Berkhidmatlah kepada hamba-hamba-Ku!”.
Bagus sekali, memang kalau kita dapat menjalankan ibadah-ibadah itu dengan sebaik-baiknya, semuanya untuk kita juga. Seperti disebutkan dalam hadis, dengan puasa dan shalat tarawih yang ikhlas, kita memeroleh ampunan Allah. Ampunan itu jelas untuk kita. Dengan membaca satu ayat Al-Quran saja di bukan Ramadhan, kita mendapatkan pahala sama dengan mengkhatamkan Al-Quran di bulan lain. Anugerah Tuhan karena mengkhatamkan Al-Quran diberikan kepada kita. Ibadah lailatul qadar sama nilainya dengan ibadah seribu bulan. Pahalanya lagi-lagi untuk kepentingan kita.
Ibu Fatimah merasa sedih karena Ramadhan mengantarkannya untuk pulang kepada Tuhan. Ia ingin memberikan hadiah untuk membuat Tuhan Ridha kepadanya. Ia merasa bahwa hadiah berupa shalat, tadarus, dan sebagainya, itu adalah persembahan untuk Tuhan. Sekiranya ia banyak melakukan ibadah-ibadah itu, nun di sana di ‘arsy yang agung, Tuhan akan berkata: “Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku?”. Memang kita memerlukan semua anugerah itu: kasih sayang Tuhan, ampunan-Nya, dan pembebasan dari api neraka. Kita membutuhkan karunia-Nya untuk kebahagiaan kita di dunia dan di akhirat.
Tetapi Ibu Fatimah memerlukan lebih dari itu. Ia ingin melakukan sesuatu untuk Dia. Ia ingin memberi-Nya hadiah yang berharga. Ketahuilah, hai Fatimah – sekiranya Anda membaca buku ini – Anda sudah berada on the right track. Berkhidmatlah pada hamba-hamba-Nya. Sekiranya anda bersedih karena anda beranggapan Anda tidak sempat shalat tarawih yang lengkap sehingga kehilangan ampunan Tuhan, simaklah hadis qudsi berikut ini (Lihat Hasan Syirazi, Kalimat Allah, h.232)
“ Hai Musa, tahukah kamu betapa besarnya kasih sayang Ku padamu?”.
“Engkau lebih sayang kepada Ku ketimbang Ibumu”
“Hai Musa, sesungguhnya Ibumu menyayangi kamu karena anugerah kasih-Ku juga. Akulah yang melembutkan hatinya sehingga ia sayang padamu. Akulah yang membaikkan hatinya supaya ia meninggalkan kebaikan-kebaikan tidurnya untuk merawatmu. Sekiranya Aku tidak melakukannya, maka akan samalah Ibumu dengan perempuan lain di dunia”.
 “Hai Musa, tahukah kamu bahwa ada seorang hamba diantara hamba-hamba-Ku yang mempunyai dosa dan kesalahan yang begitu banyak sehingga memenuhi sudut-sudut langit. Tetapi Aku hiraukan dosanya; semua Aku ampuni”.
“Mengapa tidak Kau hiraukan Ya Rabb?”.
“Karena ada satu hal yang mulia, yang Aku cinta dalam dirinya: Ia mencintai fakir miskin. Ia bergaul akrab dengan mereka. Ia menyamakan dirinya seperti mereka. Ia tidak sombong. JIka ada hamba-Ku seperti dia, Aku ampuni dia dan aku tidak hiraukan dosa-dosanya”
Puasa tanpa pengkhidmatan. Sampai di sini kita tahu bahwa Ibu Fatimah tidak selayaknya bersedih hati. Ia sudah menjalankan pusa dengan hadiah berharga untuk Tuhan: Pengkhidmatan. Yang harus berduka justru mereka yang berpuasa tanpa persembahan untuk Dia. Celakalah orang yang berpuasa dengan kezaliman – lawan dari pengkhidmatan. Mereka tidak mendapat apapun untuk dirinya sekali pun. “Betapa banyak yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga” Sabda Nabi Muhammad SAW.
Pada bulan Ramadhan, Nabi yang mulia memergoki seorang perempuan yang memaki budaknya. Ia memanggil perempuan itu dan menyuruhnya berbuka. Perempuan itu berkata : “Inni Sha’imah (aku berpuasa). “Bagaimana mungkin kamu berpuasa, tetapi kamu maki-maki budakmu”. Nabi mengingatkan perempuan itu bahwa bulan Ramadhan adalah bulan pengkhidmatan, bukan makian. Memaki hamba Allah akan menghapuskan semua pahala puasanya. Supaya puasa itu berfaedah bagi kamu, tinggalkan segala macam kezaliman, terutama pada orang kecil.
Dengan pusa, kita ingin menjadi anggota keluarga besar Tuhan; anggota keluarga yang paling dicintai-Nya.  Aku menerbitkan buku ini untuk orang sperti Ibu Fatimah agar ia merasa bahagia dengan pengkhidmatan kepada sesama manusia di bulan Ramadhan. Tetapi aku menyampaikan buku ini juga untuk kawan-kawan Ibu Fatimah yang terlalu banyak menaruh perhatian kepada ibadah-ibadah ritual.
Konon, menurut cerita Ibu Fatimah, pada hari-hari Ramadhan, ia bersedih hati karena kawan-kawannya dapat melayani Tuhan. Sementara ia hanya melayani manusia. “Darimana ia tahu bahwa kawan-kawannya melayani Tuhan dengan baik?” tanyaku. Dari laporan mereka, mereka bercerita tentang ketahanan puasanya sehingga tetap berpuasa  dalam keadaan sakit sekalipun atau dalam perjalanan seberat apapun.  Mereka melaporkan berapa juz Al-Quran yang sudah mereka baca. Mereka menuturkan betapa nikmatnya beri’tikaf dengan mubalig kondang semalam suntuk. Mereka berkisah tentang pengalaman berumrah di bulan Ramadhan di Tanah Suci.
Aku katakan kepadanya bahwa bersaing dalam melaporkan ibadah bisa mengalihkan pelayanan kita kepada Tuhan menjadi pelayanan kepada diri kita sendiri. Puasa yang seharusnya melatih kita untuk meninggalkan ego, kita malah memperkuatnya.
Jadikanlah puasa sebagai Madrasah Ruhaniah. Memasuki Madrasah Ruhaniah berarti menjalani pelatihan untuk menggeser perhatian yang berlebihan kepada ego kita. Berhijrahlah dari ego kita. “Berhijrahlah dari rumah kita yang sempit (ego), menuju Allah dan Rasul-Nya, “Rumah semesta yang tidak terhingga”.
Tahap awal meninggalkan egoisme adalah altruisme (mendahulukan orang lain). Rasulullah bersabda “Barangsiapa menyakiti manusia, dia menyakiti aku. Barangsiapa menyakiti aku, ia menyakiti Allah”. Nabi mengingatkan kita bahwa melayani Allah dan RasulNya harus diungkapkan dengan melayani sesama manusia. Cintailah Allah dan Rasul-Nya dengan mencintai secara tulus sesama manusia.
*******
Pengantar Buku:  “Madrasah Ruhaniah; Berguru Pada Ilahi di Bulan Suci”
Penerbi Mizan, September 2005.

KEMERDEKAAN SEMU


posted by rahmatullah on

3 comments


“Mereka puas dengan angan-angan, tapi tak lulus dari ujian nyata,
mereka mengarungi lautan perjuangan,
tapi tak kunjung meraih kemenangan” (syair arab)
Tak terasa ritual kemerdekaan telah berulang hingga yang ke-65, berbagai aktivitas dilakukan, berbagai seremoni diketengahkan dalam situasi masyarakat yang serba sulit, hingga begitu banyaknya dana dianggarkan dalam memperingati 17 Agustus 1945. Jika diakumulasi di seluruh wilayah Indonesia entah berapa miliar biaya yang telah dikeluarkan baik oleh masyarakat maupun instansi pemerintah hanya untuk menggebyarkan ritual tahunan kemerdekaan.
Menarik, jika kita mengaitkan sebuah peristiwa dengan sesuatu yang di lakukan berulang-ulang secara fisik, yakni istilah “ritual”, bisanya kata tersebut dipadankan dengan kata “spiritual”. Ritual menurut Kamus Besar bahsa Indonesia (KBBI), berkenaan dengan ritus yang bersumber pada gerak, di lakukan berulang-ulang secara fisik, sedangkan spiritual adalah kejiwaan, rohani, batin, mental atau moral, secara sederhana ada nilai spirit untuk melakukan perubahan dan perbaikan di dalamnya, berkenaan aktivitas ritual. Jika kita analogikan ke dalam shalat, ada nilai yang berbeda antara shalat hanya sekedar ritual atau aktivitas gerak rutin semata yang dampaknya nyaris tidak ada, dengan shalat spiritual yang memang di landasi nilai batin (khusuk), efek setelah melakukan shalat adalah hadirnya spirit untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik. Sama halnya dengan HUT RI, yang semakin sering di peringati, ternyata semakin garing, sehingga selesai ritual sama sekali tidak ada efek peubah, tidak ada nilai refleksi yang terkristalkan, tidak ada semangat untuk melakukan perubahan menuju lebih baik, yang terjadi hanyalah histeria massa, efek sejenak, lalu lupa akan substansi perjuangan yang terefleksi melalui pengorbanan jiwa dan raga. Wajar jika masyarakat dari kota sampai desa mengartikan 17 agustus adalah lomba panjat pinang, balap karung dan lainnya yang hanya sekedar membuat gembira sejenak, karena tidak ada efek dengung pemaknaan hakikat merdeka yang seharusnya terus menerus diingatkan oleh pemerintah.
Berbagi nilai adalah sebuah kewajiban mengenai substansi kemerdekaan, secara fisik atau kedaulatan, negeri kita memang merdeka, tetapi secara substansi negeri ini sama sekali jauh dari nilai merdeka. Merdeka yang terbelenggu, karena dari dulu hingga sekarang kemerdekaan belum menjadi spirit sebagai turning point perubahan. Ukuran yang paling akurat keterbelengguan adalah keberadaan Indonesia di bawah ketiak negara adikuasa, nyaris di segala aspek kehidupan. Sadar atau tidak sadar kemerdekaan yang terjadi di Indonesia hanyalah model peralihan dari penjajahan geopolitik dengan pola ekspansi wilayah menuju geoekonomi (penjajahan tersirat) yang justru memiskinkan sekaligus menghisap keringat dan darah secara tidak terasa (Cascio.W.F.1998).
Tanpa sadar kita menjadi konsumen terlaris program hak asasi manusia (HAM), yang gemanya terdengar ke mana-mana, Negara adikuasai menggelontorkan dana tak terkira untuk membiayai operasional lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM), tujuannya tidak lain agar masyarakat memiliki keberanian dalam menentang kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan masyarakat, tujuan latennya semakin mempermudah negara adikuasa dalam menggalang opini publik untuk menyudutkan pemerintah yang sedang berkuasa. Maka tak jarang begitu leluasanya negara lain mengintervensi Indonesia dengan mengatasnamakan terjadinya pelanggaran HAM (Ontario public library, 2003).
Begitu gencarnya pendidikan demokrasi diajarkan di Indonesia mulai dari sekolah dasar hingga pasca sarjana, berbagai pola adaptasi demokrasi negera maju, dipaksakan untuk diaplikasikan di Indonesia padahal banyak nilai yang justru bertabrakan. Kebebasan mengeluarkan pendapat dijadikan parameter negara adikuasa mempengaruhi opini publik setempat supaya masyarakat memiliki keberanian dalam berbeda pendapat, sehingga perbedaan pendapat berhasil terkolektifkan, tujuannya memisahkan diri dari negara induk. Kedepannya negara-negara adikuasa akan lebih mudah mendukung salah satu partisan dengan dalih memperjuangkan demokrasi.
Berbagai jenis bantuan mulai dari bantuan program hingga hibah di tebar di negara-negara berkembang, sampai akhirnya Indonesia menjadi negara terbesar yang mendapat bantuan pinjaman dari negara atau lembaga donor dunia. Jelas sekali jika Amerika Serikat secara tidak langsung memberikan doktrin ekonomi bebas dan merdeka, menganjurkan pemerintah melakukan restrukturisasi aset-aset negara, yang pada akhirnya sudah berapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di privatisasi, mayoritas sahamnya dimiliki negara lain. Dampak sebuah pinjaman adalah menciptakan tingkat dependensi suatu bangsa terhadap bangsa lain semakin tinggi. Karena modal investasi negara-negara adikuasa mendominasi pembelian dan penjualan aset-aset negara yang sedang diperjualbelikan di pasar modal. Bentuk penjajahan tidak hanya dalam bantuan ekonomi dan sosial, justru yang sekarang berkembang adalah bentuk bantuan atau kerjasama keamanan. negara adikuasa berupaya semaksimal mungkin membantu para sipil atau pemberontak yang diharapkan bisa bekerjasama dengan negara adikuasa. Oleh karena itu terdapat milisi separatis di Indonesia yang memiliki persenjataan modern dan lengkap mengalahkan persenjataan TNI, dan sangat mustahil jika tidak ada pihak yang mendanai atau mensponsori. Hal lain, pelan tapi pasti berhasil melumat substansi kemerdekaan bangsa kita adalah kerjasama pendidikan, ibarat buah simalakama, di satu sisi human invesmen adalah tuntutan zaman untuk mampu menyejajarkan dengan bangsa lain, di sisi lain ternyata bentuk kerjasama pendidikan disinyalir merupakan bentuk baru penjajahan. Apa yang terjadi sekarang, negara adikuasa memperkenalkan konsep pendidikan integral, konsep free market dan kompetisi menjadi salah satu acuan dasar bisnis. SDM negara-negara berkembang terbuai konsep “brosperity” sebagai lambang atau status keberhasilan. Secara ideologispun terjadi upaya pendegradasian value yang dimiliki Indonesia, dengan menghujamkan idiologi barat, sebagai simbolisasai kemapanan.
Dalam buku Can Asians Think? Kishore Mahbubani menguraikan betapa panjangnya perjalanan sebuah negara untuk bisa maju, berdikari dan menuju puncak kemapanan. Inggris membutuhkan waktu 58 tahun (dari tahun 1780), 47 tahun bagi Amerika (dari tahun 1839), dan  33 tahun bagi Jepang (dari tahun 1880-an). Di sisi lain butuh waktu 17 tahun bagi Indonesia, 11 tahun bagi korea selatan, dan 10 tahun bagi China. Namun yang menarik apa yang diuraikan Mahbubani mengenai Indonesia menjadi kritik tersendiri, karena sampai sekarang belum terjadi perubahan signifikan, apalagi untuk dikatakan berdikari, jauh tertinggal dari Korea selatan, pedahal mengalami siklus krisis yang sama di tahun 1997-1998. Mengapa demikian? Karena kita belum terlepas dari belenggu yang dikemas dalam bentuk ketergantungan kronis terhadap negara lain. Makanya tak heran jika di Indonesia berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Petani penggarap sawah selamanya akan tetap menjadi petani penggarap, tidak akan berubah hidupnya menjadi petani pemilik sawah, karena jumlah penghasilannya tidak akan pernah meningkat, begitupula buruh bangunan tidak akan berubah menjadi pemborong atau pemilik bangunan, supir tidak akan berubah menjadi pengusaha transportasi, nelayan tidak akan naik stratanya menjadi pemilik perahu, karena kadar penghasilan dari dulu hingga sekarang tidak pernah berubah. Perubahan hanya akan bisa terjadi di mulai dari adanya pemaknaan yang dalam akan subsatnasi kemerdekaan, dan perubahan sisitem secara radikal.
Beranjak dari kemerdekaan semu, sebetulnya telah dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Ar-Ra’du ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka merubah ada yang ada pada diri mereka sendiri”. Ketentuan itulah yang oleh Rasulullah SAW, dalam sebuah hadis, yang diriwayatkan Abu Dawud uraikan sebagaimana kondisi kita saat ini: “Hampir seluruh umat akan mengalahkan kamu, sebagaimana makanan hampir dekat kepada piring, lalu seorang dari mereka berkata; Apakah karena sedikitnya kita ketika itu? Beliau bersabda: Bahkan pada hari itu kamu adalah golongan ummat yang banyak, akan tetapi kamu seperti buih di permukaan air, dan Allah menghilangkan rasa takut dari dalam jiwa musuhmu, dan menurunkan ketakutan dalam hatimu (wahn). Seorang berkata; wahai Rasulullah apakah wahn itu? Beliau menjawab; ialah penyakit cinta dunia dan takut mati.”
Hal inilah yang membuat Negara kita terus terperangkap dalam kondisi ‘hidup segan mati tak mau’; jiwa masyarakat semakin kerdil, hati lemah dan hampa dari akhlak yang mulia dan sifat ksatria. Bagaimanapun juga kita harus segera beranjak dari kemerdekaan semu (silhoite kemerdekaan) menuju kemerdekaaan substantif. Dari kemerdekaan yang masih dikendalikan bangsa lain, dari kungkungan budaya konsumtif kronis, dari penyakit wahn yang menghalalkan segala cara, dari kelatahan trend zaman. Semoga kedepan peringatan kemerdekaan tidak hanya menjadi ritual yang memubazirkan dana, tapi telah berubah disertai nilai spiritual yang menjadi titik balik perubahan yang menggetarkan dunia, mampu mengejar Malaysia, singapura, India, terlebih banyak belajar dari “The Miracle China”.

MISKIN MENTAL dan FISIK


posted by rahmatullah on

1 comment


Dalam bulir-bulir pemikiran Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah pada buku Teologi Penanggulangan Kemiskinan, dijelaskan bahwa krisis moneter pada tahun 1997 yang diikuti krisis ekonomi dan krisis politik, menjelma menjadi krisis baru, yakni kemiskinan sosial. Secara fisik kemiskinan ini ditandai dengan peningkatan jumlah penduduk miskin, disertai jumlah pengangguran yang semakin membengkak, secara non-fisik, kemiskinan ini salah satu bentuknya adalah korupsi- yang kini menjadi masalah terbesar bangsa Indonesia.
Korupsi merupakan wujud kronis kemiskinan mental, dimana hampir setiap orang memiliki pragmatisme pemikiran aji mumpung, mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya sebelum situasi ‘mapan’ beralih menjadi ketidakpastian. Sejalan dengan ilustrasi yang disampaikan Mochtar Lubis tentang karakter buruk laku sebagian masyarakat Indonesia, yaitu manusia -sok, “Kalau berkuasa mudah mabuk berkuasa, kalau kaya lalu mabuk harta, jadinya rakus”.
Korupsi hanyalah salah satu dari efek domino kemiskinan, di luar itu masih banyak dampak lain, seperti meningkatnya kriminalitas akibat pengangguran, maraknya penipuan berbagai kedok, menjamurnya anak jalanan, berlipatnya pengguna narkoba, fenomena stress yang berlanjut bunuh diri, eksploitasi alam secara tradisional dengan mengindahkan kaidah-kaidah rasional, dan lain-lain.

Kemiskinan Mental
Terdapat dua dimensi  kemiskinan yang terus menerus menghantui bangsa kita, andai tidak ada penyikapan yang tegas dan cerdas baik oleh pemerintah dan kita sebagai masyarakat selaku objek penderita. Pertama, kemiskinan mental yang meliputi dimensi moral, etika, akhlak, dan mental yang kemudian memperlemah daya saing sumber daya manusia Indonesia. Mental inilah yang sebenarnya faktor dominan dalam melakukan perubahan, yang kian lama justru kian luruh. Identitas masyarakat Indonesia yang pantang menyerah, menjunjung local wisdom, benci penindasan atau situasi ‘ketertindasan’, malah berubah drastis menjadi bangsa yang pasrah (fatalis), ‘banci’ kehilangan jati diri, jika meminjam istilahnya Syafii Ma’arif antara laku dan kata tidak pernah sama. Ini yang membedakan Bangsa Indonesia dengan Bangsa Jepang. Jepang dalam era modern tetap melandaskan kehidupannya pada kearifan lokal, semangat Kaizen yang merupakan ajaran Shinto menjadi landasan dalam laku dan langkah. Sedangkan bangsa kita, justru semakin modern semakin meluruhkan nilai-nilai jatidiri bangsa, bahkan melupakan titah-titah keraifan lokal yang sebagian besar bersumber dari ajaran agama.
 Andai kita analisis, sekuat apapun bangsa ini memiliki modal dan kekayaan, jika tidak memiliki mental, akhlak dan etika sampai generasi keberapapun akan tetap miskin, tentunya sudah banyak bukti karena malas berpikir dan bekerja, semakin hari kekayaan negeri ini mulai dari hutan, aneka tambang, flora fauna hingga pasir terkeruk semakin tidak bersisa, yang untung hanyalah cukong, preman-preman parlemen, pejabat pemberi izin, dan yang terkena dampak bencana mulai dari kemiskinan, kehilangan mata pencaharian, sember daya alam, dan yang betul-betul ‘disisakan’ hanyalah bencana alam, dan yang menjadi korban tentunya rakyat jelata.

Kemiskinan Fisik
Kemiskinan fisik, lazim disebut kemiskinan ekonomi atau struktural. Secara tidak langsung krisis yang berwajah multidimensi di berbagai bidang kehidupan selama beberapa tahun belakangan ini semakin menutup jalan keluar bagi kemiskinan.
Jika kita runut, ada empat pola kemiskinan; pertama, kemiskinan yang tergolong persisten poverty, kemiskinan yang berlangsung lama dan turun temurun, bisa disebut kemiskinan struktural. Kedua, cyclical poverty, kemiskinan yang mengikuti pola siklus pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Ketiga, seasonal poverty, kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan. Keempat, accidental poverty, kemiskinan yang diakibatkan oleh terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan.
Malangnya, keempat pola kemiskinan tersebut ada dan melanda bangsa kita. Secara turun temurun masyarakat kita memang miskin, ditambah pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah stabil, belum lagi musim yang kian sukar diprediksi, kapan datangnya hujan, kapan kemarau, kapan angin barat dan kapan angin timur, betul-betul semakin menyengsarakan petani dan nelayan kita, karena hari ini menanam padi tak taunya besok hujan, hari ini diperkirakan bisa melaut karena cuaca cerah, ternyata siangnya badai. Belum lagi masyarakat kita semakin terguncang jiwanya karena tiada hari tanpa ancaman bencana.
Hal yang paling membuat miris, mengutip Zukhairi Misrawi, selain negeri ini miskin, ternyata negara turut andil dalam ‘memiskinkan’, terbukti dengan kebijakan-kebijakan yang tidak memihak pada rakyat, hingga akses untuk mendapat kesejahteraan sosial yang sebetulnya memang disediakan untuk rakyat seperti Askes Kin, Kartu Gakin, BOS, BLT, kredit usaha kecil dan sebagainya menjadi kian rumit diakses, karena aturan administratif yang berbelit-belit, dan birokrasi yang baru bekerja jika disuap.
Amat paradoks dengan tuntutan pemerintah, dimana sejak dulu rakyat diberikan penyuluhan bagaimana membajak sawah dengan menggunakan traktor, para nelayan dianjurkan melaut menggunakan perahu bermesin, di sisi lain harga solar dan bensin dinaikan semena-mena. Mereka yang tinggal di wilayah kumuh di gusur agar bisa hidup layak dengan dibangunkan rumah susun (Rusun), namun kenyataannya Rusun hanya bisa diakses oleh mereka yang ekonominya menengah ke atas, tidak usah heran jika di depan Rusun terparkir mobil-mobil mewah. Jika kita berpikir ideal, seharusnya semua pemimpin bangsa ini di makzul-kan (diturunkan dengan hina), karena melanggar amanat konstitusi, tidak memelihara fakir miskin, anak-anak terlantar, tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan justru semakin membuat curam disparitas sosial.

Keberhasilan di Masa Lalu
Jika diperbandingkan dengan keberhasilan Indonesia di bawah orde baru yang dalam tempo 25 tahun mampu melakukan pembanguan ekonomi spektakuler, parameternya adalah pembangunan dan kesejahteraan sosial. GNP Indonesia tahun 1966 sejumlah US$ 50 perkapita; artinya, jumlah tersebut hanya separuh dari GNP di negara-negara seperti India, Nigeria, dan Banglades. Namun, mulai tahun 1980-an GNP Indonesia meningkat menjadi hampir mencapai US$ 500 perkapita. Itu berarti 30 % lebih tinggi daripada GNP di India, 49 % lebih tinggi daripada GNP Nigeria, dan 150 % lebih tinggi daripada GNP Banglades (Bank Dunia 1990b).
Prestasi spektakuler Indonesia selama 25 tahun dalam pembangunan dan kesejahteraan sosial di bawah kekuasaan Soeharto (kita berpikir dengan menafikan pretensi apapun) sempat dikaji dalam seminar Internasional dengan tema “Kemiskinan dan Pembangunan di Indonesia” yang berlangsung di Hague, Belanda 9-10 April 1991, diprakarsai oleh Menteri Centre for Asian Studies Amsterdam (CASA). Pada saat itu Indonesia menjadi referensi dunia dalam keberhasilan penanggulangan kemiskinan. Seminar tersebut untuk menyajikan tinjauan secara luas pandangan-pandangan terbaru tentang kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia, yang  menghadirkan 40 akdemisi dan pembuatan kebijakan di dunia.
Walau bagaimanapun ilustrasi diatas adalah Indonesia 16 tahun lalu, ketika menjadi rujukan dunia, berhasil secara sporadis menanggulangi kemiskinan dalam waktun singkat. Kunci keberhasilan orde baru dalam mensejahterakan rakyat adalah program terpola dan sistematis, selain itu masyarakat dituntut untuk disiplin dan sama-sama pemerintah mensukseskan visi bangsa. Tidak seharusnya Soeharto turun, lalu program-program Pelita, Repelita juga hancur tak berbekas. Saatnya kita bangkit dengan memulai dari memberantas kemiskinan akhlak, mental, moral dan etika. Karena kita punya banyak sejarah gemilang bagaimana bangkit dari berbagai keterpurukan.

Sketsa