Ibu Omah hanyalah pedagang sayur
keliling yang saban pagi menjadi langganan Ibu. Kemarin sepulang kantor, Ibu
menunjukkan kerudung panjang berwarna Krim
berbahan bagus pemberian Ibu Omah. Dalam ingatan saya sepanjang cerita Ibu
tentang Ibu Omah, sudah tak terhitung Ibu Omah memberikan buah tangan buat Ibu, mulai
dari keripik, kue, terkadang sabun atau sampo, menjelang lebaran tahun lalu
memberikan kain batik dan menjelang lebaran tahun ini memberikan kerudung
panjang. Entahlah, bagi saya rasanya mengharu biru ketika seorang pedagang
sayur keliling memberikan buah tangan buat pembelinya “tanpa syarat”.
Ibu sering bilang Ibu Omah yang
berparas ayu, mungkin dengan paduan kerudung dan kecantikan wajahnya tidak ada
yang mengira jika tidak sedang membawa bakul sebagai seorang tukang sayur
keliling. Suaminya adalah ustad yang juga sahabat karib kakak saya. Ayahanda
Ibu Omah adalah seorang pimpinan pesantren di Bekasi, tuntutan hidup membuat Omah
dan suami menanggalkan identitas mereka tanpa sedikitpun gengsi. Ibu pernah
bertanya kenapa memilih berjualan sayur keliling, memanggul beban begitu berat,
padahal jadi ustazah di pesantren mungkin berpenghasilan dan lebih bermartabat.
Jawaban Ibu Omah sederhana namun menggetarkan “Bu, mampu saya hanya berjualan
sayur, menjadi ustazah juga di pesantren salafiyah yang sebagian besar
santrinya tidak mampu… Jika saya gengsi, karena Ayah saya punya pesantren atau
suami juga punya pesantren bagaimana menyambung hidup anak saya, yang penting
saya dititipkan badan oleh Allah tetap sehat dan yang dijual barokah”.
Bagi saya dan keluarga Ibu Omah
adalah guru kehidupan dan tempat bercermin, jika tidak salah Ibu Omah baru
melahirkan, usia kandungannya tidak jauh berbeda dengan istri saya, namun luar
biasa Allah anugerahkan kebugaran dan kekuatan, hingga usia kandungannya 8
bulan Ibu Omah masih berkeliling berjualan sayur dan saat ini saat bayinya mungkin
berusia 3 bulan sudah berjualan kembali. Tidak ada kekhawatiran keguguran atau
rahim turun, mungkin sekenario Allah menganugerahkan fisik yang kuat. Ketika
Ibu Bertanya, bagaimana kabar anaknya, Ibu Omah menjawab “Hamdulillah sehat, kalau
ditinggal berjualan sayur juga tidak rewel, tidak merepotkan ke santri yang
dititipkan”.
Saya teringat beberapa bulan
lalu, Ibu Omah menurunkan sayuran dari tukang ojek di depan rumah kemudian
memanggulnya berkeliling dari rumah ke rumah, Hamdulillah saat ini suami Ibu Omah
sudah terkredit sepeda motor sehingga teringankan bisa berkeliling dengan
sepeda motor dibonceng suaminya. Terkadang keluhan juga muncul dan membuat kami
haru “Banyak Bu yang berhutang ke saya, ada yang 100 ribu, 50 ribu, doakan ya
segera pada membayar, biar uangnya bisa saya belanjakan sayur lebih banyak”.
Bagi saya banyak petikan hidup
dari sosok Ibu Omah, mulai dari keyakinannya akan rizki, jika kita berhitung
matematis berapa sih keuntungan seorang pedagang sayur, namun dengan kebesaran
jiwanya Ibu Omah memberikan Ibu berbagai buah tangan. Ibu Omah punya keyakinan dalam
hati jika ia tidaks emata-mata jual beli, melainkan “berniaga dengan Allah”, ia
yakin Allah yang melipatgandakan rezekinya.
Ibu Omah hidup tanpa gengsi melainkan
sangat “sadar diri”, ia menanggalkan identitasnya sebagai istri seorang ustad,
menanggalkan identitas ayahnya sebagai pemilik pesantren, dengan paras ayu dan
label hidup Ibu Omah tanggalkan demi keberkahan dan rizki halal bagi anak-anaknya.
Bagi saya Ibu Omah adalah anomali
pada zaman kini, Malaikat kecil yang menginspirasi hidup tanpa menggurui…Dia
berdakwah dengan bakul sayurnya agar kita yang lebih mampu secara ekonomi harus
lebih banyak lagi bersedekah, tidak gengsi dengan rupa dan identitas, serta
bekerja keras menjemput rizki Allah. Semoga Allah anugerahkan sehat untuk Ibu Omah
dan terus membantu kami bermuhasabah.***
Luar biasa!, sungguh itulah yg ada dihati saya usai membacanya. bayangkan ada sebagian besar yg diamanahkan pekerjaan yg lebih mapan tapi korupsi & memeras rakyat kecil terus saja terjadi, bagaimana penghulu di KUA pekerjaan mulya agar orang tdk berzinah tapi kenyataannya perilaku mereka (maaf)seperti syetan, mereka seenaknya mentarget tarif tinggi padahal sudah ada aturan tarifnya namun tetap ditabrak, bagaimana pegawai negeri (kanator pajak, kelurahan dan sampai keatasnya, Dukcapil dll.) mereka tdk sadar anak dan istrinya bisa sekolah tinggi, makan dengan empat sehat lima sempurna, membeli pakaian agar tidak telanjang didepan umum, membeli rumah agar tidak kehujanan dan kepanasan, membeli kendaraan pribadi dan sebagainya dari hasil pajak rakyat untuk gaji mereka untuk melayani rakyat bukan untuk memeras rakyat, sungguh Ibu Omah sangat beruntung dimata Allah SWT, semoga Allah mengankat derajat Ibu Omah dan para Ibu omah lainnya,amin..
InsAllah kemuliaan bukan dari pangkat, paras dan atribut lainnya melainkan dari pancaran hati siapapun manusia...dari siapapun kita bisa bercermin dan belajar:)