Dalam benak, saya bertanya-tanya apakah
Agama Ibu Saeni? Melihat tutup kepala yang dikenakan beliau sepertinya muslim. Jikapun beliau Muslim,
dalam beberapa artikel yang saya baca baik Koran maupun portal berita, tidak
ada pertanyaan apakah beliau menjalankan ibadah puasa?. Pertanyaan berikutnya,
hal menyangkut kedaruratan apa sehingga beliau harus berjualan pada jam yang
melanggar ketentuan Perda? Saya amat
maklum jikalau beliau merasa wajib berjualan karena alasan menanggung biaya
anak yang sakit, atau jika tidak buka warung akan kelaparan, atau ada beban
hutang yang harus dibayar, jika jatuh tempo akan diusir dari warungnya. Rasanya
belum menemukan argumentasi terkait kedaruratan apa? Hal yang baru mengemuka
adalah untuk merayakan lebaran, mungkin butuh
biaya untuk mudik ke Tegal.
Ah ini sangat menyedihkan, urusan
agama memang sangat individu sekali, tapi pemahaman terkait kewajiban puasa
bukan hal filosofis dan berat-berat amat. Amat sangat sederhana sekali, saya
yakin jika Bu Saeni seorang Muslim, beliau akan menjalankan ibadah puasa, dan
menjaga betul puasa tersebut untuk dirinya dan orang disekitarnya. Tidak ada
kerugian besar jikapun beliau baru membuka warung diatas jam 15.00 hingga waktu
sahur, persoalan hanya menggeser waktu saja. Jikalau Ibu merasa keuntungannya
berkurang dengan menggeser waktu berjualan, apakah tidak ada jalan lain mencari
keberkahan rizki, seperti menjual penganan berbuka, buka lapak di Masjid Agung
Serang, membuat kue lebaran, dan seribu cara lainnya. Apakah dalam keyakinan ibu
jika tidak membuka warung, tidak akan ada uang masuk. Pada sudul lain, ada
seorang tukang es keliling yang pada saat ramadhan stop total berjualan dengan
alasan “Masa 11 bulan jualan, gak bisa nabung buat sebulan gak jualan”. Saya
yakin tukang es keliling omsetnya tidak sebanyak Ibu Saeni, tapi memiliki hati
yang besar dan rasa kepatuhan yang tinggi kepada Tuhannya, sehingga mengosongkan
waktunya untuk ibadah ramadhan.
Terkait aspek sosiologis, jikapun
Ibu Saeni memiliki dalih menolong orang yang darurat ingin makan. Rasanya jauh
jika dikaitkan dengan kondisi lokalitas, darurat semacam apa? Apakah banyak
orang sakit, jika itu alasannya warung Bu Saeni bukan di wailayah rumah sakit.
Menolong Abang Becak dan Pekerja Kasar, alasan ini bisa mendekati karena dekat
dengan Pasar Rau, tapi mungkin mereka
bisa membawa bekal dari rumah atau mungkin berbohong di rumah puasa dan diluar
berbuka. Satu hal yang harus diingat bahwa Bu Saeni harus menghormati
nilai-nilai lokalitas, dimana kultur Banten Khususnya Serang adalah agamis/
Islamis, sejarah peradaban Islam di Banten adanya di Kota Serang . Sebagai
pendatang layaknya beliau menghormati nilai-nilai lokal tersebut.
Kini persoalan sederhana menjadi keruh, terlihat sangat jika
Orang Islam kini hanyalah buih di lauatan,banyak tapi tidak punya wibawa,
berserak tapi tidak punya pengaruh. Bu Saeni beragama Islam, begitu juga
petugas Satpol PP, Kepala Satpol PP, Walikota Serang, Menagri Tjahyo Kumolo,
Presiden Jokowi, dan semua netizen yang terkuras emosi, perhatian dan
pikirannya bahkan hingga berseteru di lini masa mayoritas Islam. Tapi kenapa urusan ini tidak diselesaikan
dengan cara Islam sebagaimana Agama yang kita anut, tapi jauh konteks dilarikan
ke toleransi, pelanggaran HAM, dan yang kian mengeruhkan adalah siapapun
berkomentar, bahkan Ahok pake ditanya, yang tentunya semua jauh panggang dari
api. Padahal kalau sudah riuh dan berseteru walau hanya di media sosial
bagaimana pahala puasa kita kawan?
Sesugguhnya ini hanya persoalan
akhlak dalam bungkus penegakan perda. Jikalau Satpol PP datang dengan cara yang
baik, diingatkan, dinasihati, mengikut sertakan ustad, atau kiai setempat untuk
mentausiahi warganya, dan atas panggilan ketaatan ber-Islam saya berkeyakinan
Ibu Saeni akan berbesar hati menggeser waktu buka warungnya. Dengan Akhlak
mulia baik Satpol PP maupun Ibu Saeni akan menunjukkan sebagai penganut Islam yang
baik dan taat. Sederhana bukan?
Tengok kini, polemik kian menjadi
bola liar, dan siapapun bisa mengambil kesempatan untuk memperkeruh, bahkan
memperuncing persolan dan yang dirugikan bukan Bu Saeni Semata, Bukan Satpol PP
dan Kepalanya, Bukan juga Pak Walikota, Bukan Pak Tjahyo Kumolo apalagi Pak
Jokowi, tapi kita Umat Islam. Banyak pihak yang tertawa dengan kasus ini,
bahkan girang bertepuk tangan, mereka sesunguhnya sedang melakukan TEST THE
WATER, memancing reaksi Umat ISlam “ Oh Rupanya hanya segini kualitas umat
Islam Indonesia”. Sekedar banyak tapi pecah, egois, individualis dan gampang terukur
kualitas ketataatan berislamnya oleh pihak lain.
Satu hikmah yang bisa kita ambil
yakni jadilah kita Muslim Paripurna, menajalankan Islam sesuai dengan Al-Quran dan
Al-Hadist. Itu saja****
Foto:http://regional.kompas.com/read/2016/06/11/20020531/saeni.sempat.sakit.dan.terpaksa.berutang.setelah.makanannya.disita.satpol.pp
bikin heboh aja bu saeni, biaa media kerjaanya pengalihan isu