Diberdayakan oleh Blogger.

Archive for 01/10/10 - 01/11/10

Simbol dan Sublim


posted by rahmatullah on

2 comments

Masih terngiang di kuping ini, obrolan antara saya dan adik tingkat saat di kampus dulu, ketika kebetulan bertemu dalam perjalanan kereta dari stasiun Sudirman menuju stasiun UI Depok. Sebagaimana biasanya yang namanya ketemu adik tingkat atau teman lama, obrolan tidak lepas dari ‘membicarakan orang lain’, seperti menanyakan kabar si A, si B, si C, bekerja di mana, sudah menikah atau belum. Ya… seputar  nasib sendiri dan orang lain.

Ketika saya menanyakan si C, dimana sekarang? adik ini menceritakan bahwa C bekerja di luar jawa, sedang ingin membuktikan sesuatu pada mantan orang tua pacarnya. Awal cerita itu yang membuat rasa penasaran menguat. “Memang bagaimana ceritanya?”. Adik ini menuturkan bahwa C punya pacar saat dikampus dulu, namun berbeda jurusan. Perkara bermula ketika C berkunjung ke rumah pacarnya dan bertemu orang tuanya, terjadilah obrolan antara C dan Ayah pacanya yang bertanya “Kamu kuliah di mana, jurusan apa?”, C memberitahukan nama jurusannya, kemudian Ayah si pacar ini berkomentar “Jurusan apa itu?, lebih bagus jurusan anak saya, kamu memang mampu menanggung hidup anak saya!”. Entah bagaimana selanjutnya, yang pasti sejak si C merasa direndahkan hanya karena nama jurusan, dianggap tidak mampu apa-apa, telah memacunya untuk membuktikan jika asumsi orang tua pacarnya tesebut keliru. Dan dampak bagi pacarnya, kabarnya setelah kejadian tersebut menghilang beberapa hari karena tidak menerima kata-kata ayahnya yang merendahkan sang pacar hanya persoalan nama jurusan.

Tentang si C hanyalah mula cerita, karena masih ada kisah lain. Tulisan ini mencoba membahas simbol dan pemaknaan akan simbol yang entah mengapa saat ini begitu dianggap ‘lebih penting’ di banding makna di balik simbol. Ada teman yang gagal menikah hanya karena ‘tidak tampan’ dimata orang tua perempuannya, ada teman lain yang gagal menikah karena tidak bekerja di tempat bergengsi seperti di bank atau perusahaan, ada teman perempuan yang gagal menikah karena keraguan orang tua melihat perawakan, ada teman yang gagal menikah karena belum memiliki kendaraan dan rumah, dan banyak lagi pernikahan gagal hanya karena orang tua yang terpaku pada simbol atau kesan yang muncul di awal, lalu itulah yang disimpulkan.

Pemaknaan simbol yang lain terjadi ketika kita ke tempat perbelanjaan, jika kebetulan menggunakan pakaian sederhana menanyakan harga barang ke pemilik toko atau ke SPG, tidak jarang mendapatkan jawaban yang sambil lalu, tidak memperhatikan yang bertanya, bahkan menjawab dengan ketus. Berbeda cara mereka ketika yang bertanya mengenakan kemeja atau dasi.

Begitu juga pengalaman seorang kawan, yang mengurus Surat Keterangan Catatan Kelakukan Baik (SKCK), kebetulan bareng dengan teman perempuannya yang boleh dikatakan memiliki paras cantik, semua tahapan diurus bersama mulai dari  ketua RT, desa, kecamatan. Namun ketika sampai Polsek dan Polres si perempuan lebih cepat selesai karena banyak polisi yang menawarkan bantuan ini dan itu sambil meng-akrabi, dan hasilnya berbeda, sore hari sebelum kantor Polres tutup, SKCK si perempuan sudah jadi, sedangkan SKCK si laki-laki baru jadi besok siangnya.

Cerita lain tentang sikap merendahkan orang lain hanya karena melihat cara berpakaian. Saya angkat dari kisah seorang teman yang nasibnya selalu dianggap ‘pelayan’, hanya karena tampang dan cara berpakaiannya sederhana, padahal dimata teman-teman atau patner yang mengenalnya, ia begitu dihormati. Teman ini bercerita, entah kenapa ketika dia berkunjung ke suatu tempat selalu dianggap pelayan. Ketika dia ke toko buku dan mencari buku yang kebetuan posisi raknya dekat dengan komputer katalog, tiba-tiba ada suami istri yang dengan nada ketus memintakan teman ini mencarikan buku bagaimana caranya sampai dapat, teman ini hanya menjawab dengan senyum “Saya bukan karyawan toko ini”. Sama halnya ketika teman ini makan di sebuah kafe terkenal di bandung, kemudian datang serombongan ABG ‘berparas cantik’, duduk di meja samping teman ini, saat kebetulan berdiri teman ini di panggil ABG tersebut “Mas mana daftar menunya?”, teman ini hanya menjawab tersenyum “Maaf Mba saya bukan pelayan, saya juga pengunjung”, dan ketika akan pulang pun, ada yang bertanya “Mas mushala di sebelah mana”. Teman ini tidak menjelaskan status dirinya melainkan Menunjukan arah mushala, walaupun teman ini sadar jika yang bertanya sama saja menganggapnya ‘pelayan’. Dan terakhir dia menceritakan ketika memfotocopy beberapa berkas, sambil berdiri menunggu copyan selesai, tiba-tiba datang mahasiswi “Mas fotocopy rangkap lima ya” sambil menyodorkan kertas. Kembali teman tersenyum menjawab “Ke Mas itu aja Mba bilangnya”.

Mengapa begitu kuat pesona simbol dan pemaknaan akan tampak luar? Haruskah zaman sekarang setiap orang memanipulasi diri tampil dandy hanya untuk dihargai orang lain dan tidak dianggap sebelah mata. Padahal simbol hanyalah tanda yang sifatnya mengantarkan pada inti tetapi bukanlah sebuah inti. Menyimpulkan simbol merupakan kekeliruan fatal karena apa yang terlihat di permukaan tidak mewakili hakikat, sifat, karakter atau kepribadian asli seseorang. Memaknai simbol sama halnya ketika kita melihat buah-buahan, jika kita lihat tampang buah-buahan, lebih ganteng durian atau buah maja, tentu buah maja lebih halus permukaannya, namun esensinya bukan pada permukaan melainkan pada rasa. Sama halnya dengan buah mengkudu, ketika orang tidak tahu khasiat mengkudu yang beraroma tajam dan selalu menjadi langganan keranjang sampah, tapi ketika tahu khasiat atau substansi mengkudu, orang baru mau memungut, mengumpulkan karena tahu mengkudu memiliki nilai lebih.

Berbicara simbol sudah pasti berelasi pada tampang, jabatan, kekayaan, dan popularitas. Padahal keempat hal ini sifatnya sublim atau cepat berubah, bukan sesesuatu yang sifatnya kekal, melainkan dalam waktu dan situasi tertentu bisa berputar 180 derajat.

Berbicara masalah penampilan atau tampang, sangat mudah dijadikan sebagai alat untuk mengelabui. Sama halnya ketika kita membeli buku, terkadang melihat cover yang bagus namun terkecewakan ketika membaca isi buku yang jauh dari harapan. Sesederhana kasus Ariel Peterpan, banyak muda-mudi yang begitu terpesona oleh sisi luar Ariel namun apakah tampang bisa menjamin sisi kepribadian seseorang, dan gawatnya banyak fans perempuan Ariel yang walaupun sudah tahu siapa Ariel sebenarnya tetap tersihir oleh ganteng-nya ariel. Sisi lain pola kriminalitas via facebook yang banyak menjadikan perempuan sebagai korban, bermula dari kenalan, melihat foto yang menggambarkan penampilan si laki-laki, dari hal instan menjadi percaya bahkan terperdaya pada laki-laki yang ia kenal sesaat, lalu berani meninggalkan kedua orangtuanya.

Sama halnya dengan jabatan, begitu dihormatinya seseorang hanya pada saat dia menjabat dan ketika masa jabatannya berakhir, berakhir juga penghormatan yang diberikan. Tengok saja Almarhum Soeharto, siapa yang tidak menghormati beliau, namun setelah jabatannya ‘dijatuhkan’, usai juga penghormatan yang diberikan, dan yang merasakan dampak terdalam adalah anak-anaknya yang pada akhirnya terkucilkan oleh masyarakat. Fenomena ini bisa ditarik ke tingkat lokal, banyak pejabat yang karena kesalahan, perangai aslinya terkuak, akhirnya menjadi ternistakan.

Begitupula kekayaan, tidak ada istilah harta tujuh turunan. Sebanyak apapun harta bisa hilang dalam waktu yang relatif singkat. Yang berbahaya adalah banyak orang menjadikan harta sebagai pesona, banyak laki-laki dalam rangka merayu perempuan atau keluarga perempuan memamerkan harta berupa kendaraan atau bentuk lain, padahal sangat memungkinkan jika kendaraan yang digunakan adalah pinjaman atau milik orang tuanya. Baru setelah hidup bersama, menyesal jika selama ini telah dikelabui. Hal yang nyata adalah siapa yang menduga jika Mba Tutut selaku anak Soeharto akan mengalami pailit, hal tersebut bisa dilihat dari konflik kepemilikan TPI ke MNC Group milik Harry Tanoe.

Popularitas ibarat gincu, sekedar memulas sementara agar kelihatan indah, banyak orang yang padamulanya memiliki popularitas, dihormati, dihargai, bahkan dielu-elukan namun pada akhirnya dalam waktu yang singkat ketika orang tahu perangainya atau kegagalan dalam memimpin, popularitas yang dibangun begitu lama dan sulit, harus lenyap dalam waktu sesaat. Sebagaimana hal ini terjadi pada Aa Gym, KH. Zainudin MZ, anggota DPR Yahya Zaini, Max Moein atau Mantan Bupati Kutai Kertanegara Syaukani, Gubernur Sumatera Utara Samsul Arifin. Bahkan SBY-pun mungkin bisa mengalami hal yang sama jika yang dilakukan semata-mata untuk meraih popularitas bukan pembuktian kualitas kinerja.

Hidup dengan kejujuran merupakan sebuah jalan damai, dimana ketika kita berbuat dan bersikap adalah alakadarnya siapa kita. Berbuat, bersolek dan berpakaian sewajarnya kemampuan kita, berkendaraan atau menggunakan gadget semampunya kantong kita tanpa harus stress mengredit Honda Jazz, ipad hingga Blackberry agar dianggap anak zaman atau supaya diterima dalam golongan sosialita, toh kondisi memaksa walaupun sesungguhnya tidak terpaksa situasi pasti menyakitkan dan meletihkan.

Cobalah renungi sosok Mbah Maridjan dan Mbah Surip, apa yang terlihat itulah mereka adanya dengan segala kesederhanaan dan kebersahajaan yang takkan pernah sublim. Walaupun sekedar juru kunci Gunung Merapi, siapapun akan menghormati Mbah Maridjan bahkan namanya semakin harum hingga beliau meninggal. Mbah Maridjan tidak menjadi Orang Kaya Baru (OKB) setelah menjadi bintang iklan, tidak beralih profesi menjadi pesinetron walaupun tenar, tidak lantas merenovasi gubuknya menjadi villa karena royalty iklan yang didapatkannya, tidak merubah perangainya menjadi tinggi hati sebagaimana artis pendatang baru.

Beliau tetap kukuh dan konsisten menjaga peran sebagai juru kunci merapi, tetap rendah hati dan menghormati siapapun tamu yang datang, rumahnya selalu terbuka menjadi persinggahan siapapun pendaki yang menginap sambil menghibur dengan lelucon dirangkai nasihat tanpa menggurui. Setiap orang hafal, karena pada dasarnya tidak ada yang menarik dari ‘tampang’ Mbah Maridjan, hanya seorang sepuh yang mengenakan peci, batik dan sarung lusuh, dengan rumah limasnya sederhana. Namun kelusuhan penampilan tidak sedikitpun mengurangi wibawa Mbah Maridjan, dimana itulah jatidiri yang mewarnai sikap.

Tulisan ini sekedar berbagi, bahwa jangan sampai kita melihat manusia dari sisi terluar, jangan menyimpulkan dari apa yang terlihat, jangan mendiskriminasi seseorang hanya karena kesederhanaan, kebersahajaan dan ‘ketidakmampuan’ bergabung dengan golongan tertentu, apalagi dipandang sebelah karena keterbatasan fisik. Karena tampang, harta, jabatan, popularitas hanyalah simbol yang kapanpun bisa menyublim, sedangkan jatidiri tetap hinggap dalm jiwa dan sikap***

Memahami Dinamika Perilaku Manusia Dalam Implementasi Kesejahteraan Sosial


posted by rahmatullah on

No comments

Abstrak

Dalam memahami manfaat dari teori-teori terkait dengan Dinamika dan Perilaku Manusia terhadap ilmu kesejahteraan sosial, harus dimulai dari definisi kesejahteraan sosial itu sendiri. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberi batasan kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat (Suharto, 2005).
Dalam sistem kenegaraan Indonesia, konsep kesejahteraan sosial terdapat dalam Undang-undang Kesejahteraan Sosial Nomor 11 tahun 2009, Pasal 1 menyebutkan bahwa “Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”. (UU nomor 11/2009)
 Midgley dalam Huda, mendefiniskan kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi yang harus memenuhi tiga syarat utama, yaitu: (1) ketika masalah sosial dapat di manajemen dengan baik, (2) ketika kebutuhan terpenuhi, dan (3) ketika peluang-peluang sosial terbuka secara maksimal. (Huda, 2009)
Secara umum istilah kesejahteraan sosial sering diartikan sebagai kondisi sejahtera, yaitu keadaan terpenuhinya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar, seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan.  Selain itu pengertian kesejahteraan sosial menunjuk pada segenap aktivititas pengorganisasian dan pendistribusian pelayanan sosial bagi kelompok masyarakat, terutama kelompok yang kurang beruntung (disadvantage groups). (Suharto, 2005)
Dari definisi kesejahteraan sosial terdapat beberapa istilah kunci yaitu:
-          Membantu individu, kelompok atau masyarakat
-          Memenuhi kebutuhan dasar
-          Menjalankan fungsi sosial
Pada dasarnya disiplin ilmu kesejahteraan sosial terkait dengan bagaimana upaya dalam membantu individu, kelompok atau masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar agar dapat menjalankan fungsi sosialnya. Sedangkan kondisi ketidaksejahteraan sosial menurut Richard Titmuss adalah social illfare, yaitu kondisi ketika menusia tidak mampu menjalankan fungsi sosialnya. (Huda, 2009)
Terkait dengan kesejahteraan sosial, tidak bisa dilepaskan dengan istilah Pekerjaan Sosial. Pekerjaan sosial merupakan aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka agar berfungsi sosial dan menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif untuk mencapai tujuan tersebut (Zastrow, 1999).
Menurut Suharto, sebagai suatu aktivitas profesional, pekerjaan sosial didasari oleh tiga komponen dasar yang secara integratif membentuk profil dan pendekatan pekerjaan sosial, diantaranya; Kerangka pengetahuan (body of  knowledge), kerangka keahlian (body of skills) dan kerangka nilai (body of  values) (Suharto, 2005). Ketiga komponen tersebut dibentuk dan dikembangkan secara elektik dari berbagai lmu sosial seperti sosiologi, psikologi, antropologi, filsafat, politik dan ekonomi. Nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan pekerjaan sosial dapat dilihat dari definisi pekerjaan sosial terbaru, sebagaimana dikeluarkan oleh International Federation Of Social Worker (IFSW), bahwa profesi pekerjaan sosial mendorong pemecahan sosial yang kaitannya dengan relasi kemanusiaan, perubahan sosial, pemberdayaan dan pembebasan manusia, serta perbaikan masyarakat. Menggunakan teori-teori perilaku manusia dan sistem-sistem sosial, pekerjaan sosial melakukan intervensi pada titik (atau situasi) dimana orang berinterkasi dengan lingkungannya (Suharto, 2005).

Sub bahasan lanjutan:
- Manfaat Teori-teori Dinamika Perilaku Manusia dalam Praktik Pekerjaan Sosial
     -  Perspektif Ekologi  
     - Ekologi Mendalam (Deep Ecology)
5.      - Ekofeminisme
- Teori Perkembangan Masa Hidup (Life Span Development)
- Teori Interaksionisme Simbolik
- Teori Pertukaran Sosial

Daftar Pustaka:

Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas. PT. Rajawali, Jakarta.
Huda, Miftahul. 2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Lawang, Robert MZ. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern,. PT, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Poloma, Margaret M.2003. Sosiologi Kontemporer. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta
Wawa, jannes Eudes, 12 April 2001. Dari Sanggau Ledo Hingga Sampit. Kompas. Jakarta
Santrok, John W. 2002. Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup, Edisi 5 Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Refika Aditama. Bandung
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial.


Referensi Internet:

Seto Wahyu, Indiawan. 2007. Tinjauan Teori Interaksionisme Simbolik Pada Kerusuhan Sampit. (http://indiwan.blogspot.com/2007/09/tinjauan-teori-interaksionis-simbolik.html)



Tabung Melon dan Karakter Kepemimpinan


posted by rahmatullah on

No comments


Konversi minyak tanah ke LPG sudah berjalan hampir tiga tahun, diawali oleh beragam pro dan kontra, penolakan, pencibiran hingga beragam demonstrasi ‘pada masanya’. Tulisan ini tidak membahas mengenai konversi dalam tataran teknis, karena memang sudah bukan momentumnya lagi. Ramai riuhnya sudah berlalu karena masyarakat yang merasakan dampak dari konversi tersebut. Tulisan ini hanya mengetengahkan bahwa ada nomena dibelakang tabung melon 3 Kg, yakni sebuah karakter pemimpin yang visioner, tahan goncangan, berani kehilangan popularitas, teguh pendirian namun tidak rapuh, dan jauh dari pencitraan demi kemajuan sebuah bangsa. Yang mana karakter ini sudah miskin dimiliki pemimpin Indonesia masa kini.
Secara teknis ada hitungan logis mengapa harus konversi, saya kutipkan dari sebuah pengantar penelitian Eko Mulyani, Mahasiswa Sosiologi Universitas Airlangga yang  menyebutkan bahwa:” Program konversi minyak tanah ke gas elpiji merupakan suatu kebijakan merubah perilaku masyarakat dari yang semula menggunakan minyak tanah beralih ke penggunanan elpiji yang dinilai pemerintah lebih memberikan penghematan baik dari sisi konsumen atau masyarakat maupun sisi pemerintah sendiri, selain untuk menyediakan bahan bakar yang ramah lingkungan, bersih dan cepat bagi masyarakat.
Program konversi minyak tanah bisa dikatakan suatu program yang logis mengingat latar belakang munculnya kebijakan dimana permasalahan yang dihadapi adalah besaran subsidi yang besar yang ditanggung pemerintah ditambah lagi dengan melonjaknya harga minyak dunia yang pada tahun 2008 sempat menyentuh harga lebih dari 100 USD per barel sehingga mengakibatkan beban APBN membengkak. Di samping besaran subsidi, latar belakang yang lain adalah aspek sumber daya alam, cadangan minyak bumi Indonesia diperkirakan hanya akan dapat memenuhi kebutuhan minyak nasional kurang lebih 10 tahun lagi apabila tidak dilakukan eksplorasi tambahan” ( http://alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/673815104_abs.pdf).
Simbol ketokokohan dan pemimpin yang selalu siap pasang badan terkait dari konversi minyak tanah ke gas bukanlah SBY sebagai presiden, menteri ESDM, Menteri Ekonomi atau direktur Pertamina, melainkan Yusuf Kalla sebagai Wakil Presiden yang head to head mensosialisasikan, menghadapi media, mendengarkan dan menjawab beragam kritik, menghadapi berbagai protes masyarakat dan mencoba menjelaskan logika mengapa harus terjadi konversi. Sampai akhirnya program LPG 3 Kg berhasil dijalankan dan tetap berlanjut sampai dengan saat ini (setelah dua tahun). Yusuf Kalla tidak asal bicara tapi menampakan sisi visioner sejatinya seorang pemimpin walaupun statusnya adalah Wakil Presiden, berani melawan resiko turunnya popularitas, menghadapi hujatan, demi sebuah visi bangsa dan alasan ilmiah sebagaimana diatas.
Sederhana saja jika kita mau mengukur sebuah program berhasil atau tidak. Dalam benak sayapun dipenuhi berbagai pertanyaan tentang bagaimana tanggapan masyarakat terkait konversi, selidik punya selidik, beberapa kali saya mencoba bertanya kepada pedagang yang sudah menggunakan LPG, seperti saat di Pare, Kota Kediri, saya coba tanya penjual roti bakar. “Lebih enak pake minyak tanah atau LPG 3 kg pak?”. Jawaban yang muncul adalah “Wah, lebih enak pake LPG Mas, lebih awet bisa sampe tiga hari, gak ngotorin alat”. Ketika saya tanya, “kalau ada tabung yang meledak apa mas gak takut?”. Pedagang roti bakar yang merupakan masyarakat lapis bawah jauh lebih paham asal muasal mengapa tabung meledak, hal tersebut terbaca dari jawabannya “Kalau gas meledak, karena masangnya aja gak ngerti, gak hati-hati. Orang tetangga saya masang kompor gas, disampingnya kompor kayu, gimana gak meledak”. Pertanyaan serupa saya ulang kepada tukang baso di Depok, pedagang martabak di Kota Serang, dan pada umumnya mengungkapkan jawaban yang serupa, intinya mereka merasakan manfaat dari penggunaan LPG. Masalah gas meledak dalam pandangan mereka karena kurangnya pengetahuan dan kehati-hatian.
Memang banyak permasalahan lain terkait konversi yang mengakibatkan tabung LPG ibarat bom yang dikirmkan pemerintah ke rumah-rumah, karena dalam satu periode waktu hampir terjadi tiap hari ledakan gas yang mengakibatkan korban luka maupun jiwa, masalah tersebut muncul bukan karena kebijakan yang keliru, karena sebagian masyarakat kita memang ‘culas’. Dari struktur pemerintah keculasan muncul dari oknum yang mempermainkan tender tabung, kompor, dan selang regulator, lalu mengeruk keuntungan dengan menurunkan kualitas. Dari sisi pengusaha, rupanya hampir di setiap kabupaten terjadi praktek pengoplosan dan pemindahan isi tabung 3 kg ke tabung 12 kg, dari sisi masyarakat kurangnya sosialisi dan pengetahuan penggunaan atribusi LPG, padahal praktek penggunaan gas menggambarkan proses perubahan perilaku dan alih teknologi sederhana yang ternyata masyarakat kita sebagian besar belum mampu mengoperasionalisasikannya.
Hal yang terpenting dan menarik adalah terkait aspek kepemimpinan, sangat jarang pemimpin di negeri ini yang berani melawan badai demi sebuah keyakinan akan kebaikan masa depan masyarakatnya, sangat langka pemimpin mempertaruhkan popularitas demi program yang manfaatnya terasakan mungkin baru saat ini, sangat jarang pemimpin yang pasang badan untuk meyakinkan kebijakannya. Bagaimanapun ikon konversi migas tidak bisa dilepaskan pada Yusuf Kalla, namun ketika Pemilu 2009, yang mendapatkan popoularitas sebagai dampak keberhasilan program LPG adalah SBY yang secara formal kenegaraan sebagai ‘Pemimpin’.
Namun sayang pola tindak, dan tipikal berani melawan resiko demi kebaikan bangsa yang sudah Yusuf Kalla praktikan selama menjadi Wapres tidak dipelajari oleh SBY, yang justru setiap hari semakin menjadi sosok peragu, pencitraan yang menjalankan program bukan malah orangnya, grusa-grusu mengambil keputusan sebagaimana saat memilih calon Kapolri, yang selanjutnya pembaca bisa menambahkan.
Sederhannya saat ini Indonesia butuh pemimpin berkarakter, mengambil kebijakan atas logika-logika ilmiah, dan siap melawan badai, meski harus kehilangan popularitas. Bukan pemimpin peragu yang bisa membuat masyarakat tersesat.
Tulisan ini dibuat bukan karena saya simpatisan Yusuf Kalla, atau karena anggota sebuah partai ataupun profesi saya sebagai agem LPG. Tapi saya menaruh hati pada sosok-sosok yang kuat karakter kepemimpinannya, dan konsisten akan kata-katanya. ***

Antara Pembangunan Ekonomi dan Pembangunan Sosial


posted by rahmatullah on

2 comments


Abstrak
Istilah pembangunan identik dengan perubahan ekonomi yang dibawa oleh proses industralisasi, karena pembangunan pada umumnya dimaknai dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan level pendidikan, dan memperbaiki kondisi pemukiman serta kesehatan. Pembangunan sering juga diasosiasikan dengan perubahan atau kemajuan pada sektor ekonomi.
Fenomena kemiskinan yang cukup besar pada beberapa negara maju merupakan salah satu masalah dalam pembangunan. Pada beberapa negara, pembangunan ekonomi belum diiringi hadirnya kemajuan dalam aspek sosial. Menurut Midgley, fenomena ini sisebut dengan istilah “Pembangunan Terdistorsi”. Pembangunan terdistorsi terjadi pada masyarakat, dimana pembangunan ekonomi tidak sejalan dengan pembangunan sosial. Permasalahannya bukan pada pembangunan ekonomi, melainkan pada kegagalan dalam mengharmonisasikan tujuan-tujuan pembangunan sosial dan ekonomi, juga kegagalan dalam memastikan bahwa keuntungan dari kemajuan ekonomi tidak menyentuh masyarakat keseluruhan. (Midgley, 2005)
Prayitno dalam Tantangan Pembangunan di Indonesia, mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas, yang ditandai oleh tingginya ketimpangan dan kemiskinan. Keberhasilan pembangunan sering diukur oleh istilah Produk Nasional Bruto (PNB atau GNB) dan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP), maka kekayaan keseluruhan yang dimiliki suatu negara tidak berarti bahwa kekayaan itu merata dimiliki oleh semua penduduknya (Prayitno, 2009). Artinya, dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak tertutup kemungkinan adanya sebagian kecil orang dalam negara yang memiliki kekayaan berlimpah, sedangkan sebagian yang lain hidup dalam kemiskinan. Sehingga, sering dimunculkan ironi di negara-negara yang PNB perkapitanya tinggi, namun kemiskinan di mana-mana. Tingginya GNP belum menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat, karena hasilnya tidak selalu diterima secara merata, akibat dari proses pembangunan yang ditetapkan.
Kondisi pembangunan terdistorsi sebagaimana yang dikemukakan Midgley dan penggunaan indikator PNB dan GDP sebagai sebuah kemajuan negara sebagaimana yang dikemukakan Prayitno, terjadi pada dua negara maju yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Pada negara-negara ini pembangunan ekonomi gagal memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, masalahnya lebih kepada adanya lapisan masyarakat yang tidak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi. Selain juga terjadi pada beberapa negara Amerika Latin, pertumbuhan ekonomi begitu pesat, namun kondisi sosial tetap saja meningkat secara marjinal. Pada masyarakat ini, pembangunan ekonomi belum diiringi dengan pembangunan sosial yang sesuai dengan pembangunan ekonomi tersebut. Yang terjadi adalah adanya distribusi pendapatan dan kesejahteraan yang tidak  merata, kekayaan yang berlimpah ruah dengan kemiskinan yang sangat mencolok, investasi pendidikan dan layanan sosial yang sangat rendah, serta angka pengangguran yang sangat tinggi.
Midgley menguraikan beberapa indikator pembangunan yang terdistorsi (Midgley, 2005), diantarnya:
-          Pembangunan yang didalamya tidak ada keterlibatan masyarakat.
-          Terdapat minoritas etnis dan ras yang mengalami diskriminasi dan kesempatan-kesempatan dalam meningkatkan standar hidup mereka.
-          Penindasan terhadap perempuan, meskipun perempuan adalah penyumbang besar dalam pembangunan ekonomi.
-          Eksploitasi anak dalam menyokong ekonomi keluarga. Ketidakterlibatan mereka pada kesempatan pendidikan, layanan kesehatan yang layak, dan perasaan aman juga kehidupan yang baik, berakibat pada kemiskinan pada generasi mendatang.
-          Terjadinya degradasi lingkungan, usaha-usaha pembanguna ditandai dengan eksploitasi sumber daya alam. Kekayan yang diambil dari sumber-sumber, seharusnya dapat dipertanggungjawabkan tetapi seringkali tidak membawa keuntungan bagi penduduk lokal, juga masyarakat luas.
-          Berlebihannya anggaran militer. Pengeluran yang tidak hanya menggadaikan generasi masa depan, juga mengalahkan sumber-sumber langka dari proyek yang dapat menunjang ekonomi dan pembangunan sosial.
Pembangunan sosial muncul sebagai respon mendesak terhadap masalah pembangunan yang terdistorsi sebagaimana diuraikan diatas. Perlunya upaya untuk mengharmonisasikan kebijakan-kebijakan sosial dengan cara yang didesain untuk mengangkat pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial berupaya menawarkan perspektif makro tentang kesejahteraan sosial yang juga berhubungan dengan berbagai macam strategi yang berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupan untuk semua penduduk, melalui pendekatan yang komperhensif dan dinamis untuk mengangkat kesejahteraan sosial.
Pembangunan sosial merupakan pendekatan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat yang tidak hanya sesuai untuk peningkatan kualitas hidup semua warga negara, juga merespon masalah dari problem pembangunan yang terdistorsi. Kondisi kekurangan yang terkait ini hanya dapat dicarikan jalan keluarnya melalui sebuah pendekatan yang menyatukan tujuan-tujuan ekonomi dan sosial.
Pembangunan sosial berupaya mengangkat kesejahteraan rakyat dengan menggabungkannya dalam sebuah proses dinamis pengembangan ekonomi (Midgley 2005), dimana pembangunan sosial menawarkan pada upaya:
-          Fokus pada perspektif makro yang komperhensif, bertitik pusat pada komunitas dan masyarakat .
-          Menekankan pada intervensi yang terencana
-          Mengangkat pendekatan yang berorientasi pada perubahan bersifat dinamis dan inklusif dan universal
-          Mengharmonisasikan intervensi sosial dengan usaha-usaha pembangunan ekonomi.
-          Menggabungkan tujuan-tujuan ekonomi dan sosial.
Kegagalan pembangunan ekonomi semata menjadi bentuk evaluasi agar ada kolabroasi, dimana dalam tujuan-tujuan pembangunan ekonomi terdapat didalamnya pembangunan pada aspek sosial, sehingga tidak ada lagi ketimpangan dan kemiskinan dalam suatu negara. Selain itu indikator makro seperti GDP dan GNP tidak bisa dijadikan ukuran tunggal dalam menilai keberhasilan suatu negara dalam aspek peingkatan kesejahteraan yang mewakili semua lapis dalam masyarakat. Pembangunan sosial merupakan jawaban atas kegagalan pembangunan ekonomi yang ukurannya adalah pertumbuhan ekonomi.

Sub Bahasan Lanjutan:
- Arah kebijakan sosial yang menggambarkan pemikiran pelaksanaan pembangunan sosial di Indonesia.
- Analisi Pidato Kenegaraan Presiden RI, 16 Agustus 2009, dalam Sidang Paripurna DPR RI,   Tentang Rencana Pembangunan 2009-2014)
- Pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan
Daftar Pustaka:

Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Lembaga Penerbitan FEUI. Jakarta
Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial, Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI. Jakarta.
Prayitno, Ujianto Singgih. 2009. Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia. Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P3DI). Sekretariat Jendral DPR RI. Jakarta
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. PT. Refika Aditama. Bandung
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.
Suwarsono& SO, Alvin. 1999. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES. Jakarata
Todaro, MP. 1989. Economic Development in The Third World. Longman Group Limited.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2009, Tentang Kesejahteraan Sosial.
Pidato Kenegaraan Presiden RI, 16 Agustus 2009, dalam Sidang Paripurna DPR RI, Tentang Rencana Pembangunan 2009-2014.
                                             



Sedekah Dalam Kemasan Kreatif


posted by rahmatullah on

No comments


Seperti sudah menjadi langganan, jika saya pulang ke arah Serang dari Jakarta atau sebaliknya menggunkan bis Primajasa. Selain karena harga terjangkau juga lumayan nyaman (AC Ekonomi). Biasanya jika sudah naik bis tersebut dari terminal kampung Rambutan, saya langsung menghempaskan badan, meniatkan tidur untuk menghimpun energi dan bangun ketika bis sudah memasuki Kota serang. Oia sebaga catatan yang pasti tulisan ini sama sekali tidak bermaksud promosi perusahaan oto bis:).
Namun kali ini ada 'rasa' lain, ketika bis Primajasa yang saya tumpangi seperti berbeda (mungkin perasaan pribadi). Sebagaimana biasanya dalam bis, yang namanya jok pasti memiliki senderan, dan senderan penumpang di depan menghadap penumang yang ada di belakang. Tidak jarang senderan tersebut dimanfaatkan sebagai media beriklan. Jika kita biasa naik bis pasti hafal aneka ragam iklan berbalut kain pada senderan yang berpaspasan dengan mata kita, mulai dari minyak angin, obat batuk, salep, rokok, dan aneka produk komersil lain.
Saya tertegun ketika melihat senderan jok Primajasa yang nomor bodinya tidak saya catat, namun tertarik saya abadikan dengan kamera handphone. Kok ini lain dari yang lain, nampak tertulis sebagaimana gambar diatas "Sedekah Bahagiakan Semua", tertulis diatasnya PPPA Darul Quran dan Primajasa, dan di bagian paling bawah tertulis juga alamat lima nomor rekening.
Bagi pembaca yang lain, mungkin menilai tidak ada istimewanya iklan sedekah di Bis Primajasa. Tapi bagi saya yang mengamati dunia filantropi memaknai keunikan dari sisi lain. Terdapat beberapa alasan.
Pertama, pada dasarnya tidak ada keuntungan atau nilai komersial yang didapatkan otobis Primajasa dengan measang iklan sedekah PPPA Darul Quran, dibanding memasang iklan obat sakit kepala, namun manfaat vertikal-lah yang mungkin melatar belakangi mengapa oto bis Primajasa mau memasang iklan tersebut. Tentunya Pimpinan Primajasa memiliki filosofi tersendiri dengan makna dan hakikat sedekah. Sebagaimana beberpa tahun kebelakang saat Otobis Primajasa mencat sebagian bisnya dengan Iklan kampanye Amien Rais for President, mungkin diantara kita masih ada yang ingat.
Kedua, Iklan tersebut menunjukkan bentuk sedekah dalam kemasan kreatif, artinya tidak dalam menghimpun sedekah atau zakat tidak dengan merendahkan martabat sebagai seorang muslim yang identik meminta-minta mengenakan atribusi keislaman. Justru PPPA Darul Quran melakukan terobosan, ruang beriklan ada, fasilitas transfer ada, dan menilai bis sebagai sarana publik sangat potensial untuk menghimpun sedekah.
Ketiga, sebagai bentuk Da'wah yang santun. Bagi sebagian orang mungkin ketika melihat iklan tersebut akan tertautkan pikirannya “Apakah saya sudah membayar zakat mall", "Apakah sudah berbagi rizqi dengan yang lain", walaupunpun mungkin sedekah yang pada akhirnya kita tunaikan tidak ditujukan pada PPA Darul Quran namun, setidaknya menjadi 'pengingat' bagi kita untuk menunaikan kewajiban kita.
Keempat, disisi lain diluar iklan yang ada pada Oto Bis Primajasa, saya melihat PPPA Darul Quran fokus pada penghimpunan ZISWAF untuk Program Pembibitan Penghafal Al-Quran. Saat ini banyak lembaga Zakat yang sudah terdistorsi kehilangan fokus, selain menghimpun zakat juga habis-habisan mengejar dana CSR, dan berubah jadi konsultan CSR, menebar marketing zakat merangkap menghimpun dana CSR. Padahal ketentuan, akad dan peruntukannya jauh berbeda, tidak bisa dicampur adukan.
Semoga tulisan ini menjadi intermezzo bermakna, sejujurnya latar belakang tulisan ini karena rasa sedih ketika melihat sebagian masyarakat kita membuat setopan di jalan umum untuk menghimpun dana pembangunan masjid, tidak hanya saya temukan di Pulau Jawa, ketika di Kalimantan Selatan-pun kotak amal masjid sambung menyambung di pinggir jalan. Disisi lain, apakah kita rela jika Muslim identik disebut ‘peminta-minta’ dan mengganggu ketertiban umum. Hal lainnya, di Indonesia banyak lembaga zakat, bahkan terkesan melakukan kompetusi terselubung, laporan perolehan zakat dan mungkin dicampur dengan himpunan dana CSR bermilyar-milyar dan selalu hasil auditnya di publikasikan di berbagai media, diantaranya tersalurkan hingga nun jauh ke Palestina. Apakah dari nilai miliar tidak ada trickle down effect sekedar mampu mengalokasikan untuk membantu pembangunan masjid di pinggir jalan, atau minimal mendidik meningkatkan sumber daya peminta-minta zakat jalanan agar mereka lebih kreatif dan bermartabat.
Mohon maaf sekedar bergumam…


Interaksionisme Simbolik Pada Kasus Kerusuhan Etnis Di Sampit


posted by rahmatullah on

1 comment


Abstrak
Kasus kerusuhan Sampit merupakan konflik antara Etnis Dayak dan Etnis Madura. Berdasarkan laporan Buku Merah: Konflik Etnis Sampit, Kronologi Kesepakatan dan Aspirasi, yang dikeluarkan oleh Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMMDDKT), dikemukakan bahwa kerusuhan yang terjadi di sampit merupakan rangkaian peristiwa kerusuhan yang sudah 15 (lima belas) kali terjadi antara kedua etnis sejak tahun 1972 dan puncaknya adalah kerusuhan sampit itu sendiri.
Pada dasarnya kerusuhan bermula dari peristiwa kecil antar individu, seperti pada tahun 1972 di Palangkaraya, seorang gadis dayak digodai dan diperkosa, kejadian tersebut diselesaikan dengan mengadakan perdamaian menurut hukum adat. Pada tahun 1982, terjadi pembunuhan oleh Orang Madura terhadap seorang Suku Dayak, pelakunya tidak tertangkap, pengusutan dan penyelesaian hukum tidak ada. Sebagaimana catatan LMMDDKT, terdapat 15 (lima belas) kronologis catatan konflik lain antara Etnis Madura dan Dayak yang diawali oleh masalah sederhana dan tidak tuntasnya dalam ranah hukum. Adapun detail perjalanan Konflik antar Etnis Dayak dan Madura selengkapnya berdasarkan deskripsi Laporan LMMDDKT, pada tabel. 1.1 berikut:

Tabel 1.1. Perjalanan Konflik Etnis Madura dan Etnis Dayak
No
Tahun
Lokasi
Kronologi Peristiwa
1
1972
Palangkaraya
Seorang gadis dayak digodai dan diperkosa. Diselesaikan dengan perdamaian menutut hukum adat.
2
1982
-
Pembunuhan terhadap seorang Dyak oleh Orang Madura. Pelakunya tidak ditangkap, pengusutan hukum tidak ada.
3
1983
Kec. Bukit Batu, Kasongan
Seorang Etnis Dayak dinunuh, perkelahian 30 Orang Madura melawan satu Orang Dayak. Dilakukan perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, isinya: Jika Orang Madura mengulangi perbuatan jahatnya, mereka siap untuk keluar dari Kalimantan Tengah.
4
1996
Palangkaraya
Seorang gadis dayak diperkosa di gedung Bioskop Panala oleh Seorang Dayak, lalu dibunuh secara kejam. Penyelesainannya dihukum ringan.
5
1997
Desa Karang Langit, Barito Selatan
Orang Dayak dikeroyok oleh Orang Madura, dengan perbandingan 2:40, dan Orang Madura meninggal semua. Orang Dayak ditindak dengan hukuman berat, padahal dalam konteks membela diri
6
1997
Desa Tumbang Samba, Kec. Katingan
Seorang anak laki-laki dibunuh oleh seorang Suku Madura penjual sate. Padamulanya pertikaian antara Tukang Ste dengan pemuda Dayak, namun ketika dikejar tidak didapati. Seoarang anak yang kebetulan lewat pad akhirnya menjadi korban.
7
1998
Palangkaraya
Orang Dyak dikeroyok oleh empat Orang Madura, pelaku tidak dapat ditangkap dan korban meninggal. Tidak ada penyelesaian secara hukum.
8
1999
Palangkaraya
Seorang petugas Ketertiban Umum (Tibum) dibacok oleh Seorang Madura. Pelakunya ditahan, namun esoknya dibebaskan tanpa tuntutan hukum.
9
1999
Palangkaraya
Seorang Dayak dikeroyok beberapa Orang Madura, terkait masalah sengketa tanah. Dua orang dayak meninggal. Pembunuh lolos karena pergi ke Pulau Jawa. Saksi yang merupakan berasal dari Suku Jawa di hukum 1,5 tahun.
10
1999
Desa Pangkut, Kec. Arut Utara, Kab. Kota Waringin Barat
Perkelahian massala antara Suku Dayak dan Madura karena Orang Madura memaksa mengambil emas pada saat Suku Dayak menambang emas. Tidak ada penyelesaian hukum.
11
1999
Desa Tumbang Samba
Terjadi penikaman terhadap suami isteri Orang Dayak oleh tiga Orang Madura. Biaya perawatan ditanggung Pemda. Pelaku tidak ditangkap, karena sudah pergi ke Pulau Jawa.
12
2000
Desa Pungkut, Kota Waringin Barat.
Satu keluarga Suku Dyak meninggal dibunuh oleh Orang Madura, pelaku pembunuhan lar. Tidak ada penyelesaian hukum.
13
2000
Palangkaraya
Satu Orang Dayak meninggal dikeroyok oleh Suku Madura di depan Gereja Imanuel. Pelaku lari dan tidak ada proses hukum.
14
2000
Desa Kereng Pangi, Kasongan.
Terjadi pembunuhan terhadap seorang Suku Dayak, dikeroyok oleh Orang Madura. Pelaku kabur, pergi ke Pulau Jawa. Tidak ada penyelasaian hukum.
15
2001
Sampit
Konflik Sampit

Berdasarkan catatan LMMDDKT, kronologis konflik Sampit yang terjadi dimulai pada tanggal 18 Februari 2001 diawali oleh terjadinya perkelahian antara Suku Madura dengan kelompok Suku Dayak di Jalan Padat Karya, yang mengakibatkan lima orang meninggal dunia dan satu orang luka berat, kesemuanya berasal dari Suku Madura. Setelah itu terjadi pembakaran rumah Suku Dayak sebanyak dua buah, yang dilakukan oleh Suku Madura dan satu rumah lagi dijarah. Kejadian ini mengakibatkan tiga orang meninggal yang kesemuanya berasal dari Suku Dayak. Kerusuhan semakin berkembang dan terjadi pembalasan antar suku yang pada akhirnya kerusuhan tersebut merambat hingga ke Kota Palangkaraya, berdasarkan laporan LMMDDKT, tercatat bahwa korban meninggal sebanyak 383 orang, korban luka-luka 38 orang, korban materiil 793 rumah terbakar, 48 buah rumah rusak, dan sebanyak 57.492 orang dievakuasi melalui laut untuk kembali ke Pulau Madura. (Laporan LMMDKT, 2001).
Sedangkan dalam Laporan International Crisis Group (ICG) tentang Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan. Pecahnya konflik dapat dipahami dengan latar belakang dislokasi, dirampas, dan disihkan yang sangat mendalam yang dialami masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah. Secara sederhana ICG mengklasifikasikan pada tiga hal. Pertama, bahwa perlu adanya penerapan hukum yang cepat dan efektif untuk mencegah agar benturan antar perorangan tidak berkembang menjadi konflik yang lebih luas. Kedua, masyarakat minoritas sebagai pendatang seharusnya menyesuaikan perilaku dan sikapnya terhadap mayoritas atau masyarakat setempat. Ketiga, dalam jangka yang panjang masyarakat Dayak tidak memiliki organisasi modern untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan sepertinya menerima saja nasib mereka, biasanya mereka memendam sakit hati yang mendalam atas perlakuan yang dilakukan pemerintah, korporasi dan etnis lain yang lebih maju. Dari waktu ke waktu Masyarakat Dayak yang terkucil mengungkapkan sakit hati mereka dengan kekerasan terhadap masyarakat lain yang rentasn, meskipun sasaran mereka belum tentu bertanggungjawab atas penderitaan mereka. (Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran Dari Kalimantan, ICG 2001)
Menurut Sudagung, dalam Mengurai Pertikaian Etnis: Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat, kedatangan orang Madura ke Kalimantan, dibagi dalam tiga periode: Pertama, tahun 1902-1942 ketika Kalimantan dan Madura diperintah oleh Kerajaan Belanda. Migrasi ini berlangsung lambat dan terus-menerus. Kedua, migrasi yang terjadi pada zaman peralihan kekuasaan, saat Perang Dunia II, antara 1942-1950. Saat itu Jepang menduduki Hindia Belanda, lalu terjadi kekosongan kekuasaan, sesudah Amerika mengalahkan Jepang pada Agustus 1945. Ketiga, migrasi yang terjadi pada zaman Republik Indonesia, 1950-1980. Perpindahan orang Madura ke Kalimantan, dikarenakan faktor perdagangan. Orang Madura biasa mengarungi lautan, dan menjadi pedagang antarpulau. Selain mendarat di Ketapang dan Pontianak, para pedagang sapi itu, juga mendarat di pelabuhan Pemangkat. (Mengurai Pertikaian Etnis: Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat, 2001).
Di Pulau Kalimantan, Orang Madura seperti pendatang pada umumnya, yang memiliki sifat pekerja keras dan ulet. Mereka bekerja sebagai buruh atau petani, tugasnya membuka hutan, ladang, kebun, menggali parit, hingga memecah batu. Selain rajin, orang Madura dianggap taat pada majikan bila bekerja. Tak heran, permintaan tenaga kerja Orang Madura, terus meningkat. Menurut Sudagung, biasanya, orang Madura yang datang ke Kalimantan, dari Bangkalan dan Sampang di Pulau Madura. (Mengurai Pertikaian Etnis: Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat, 2001).
Yekni Maunati, dalam Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, mengemukakan bahwa Orang Dayak adalah masyarakat yang defensif dan tidak reaktif. Banyak orang bilang bahwa etnis ini adalah etnis yang penyabar dan jarang marah. Etnis Dayak punya sistem hubungan yang cukup baik dengan etnis lain seperti saling menghormati dan sangat percaya atas apa yang dilakukan orang pada dirinya.  Namun kepercayaan mereka bukannya tanpa balasan artinya mereka bisa sangat kecewa jika dibohongi atau dikecewakan. Mereka bisa sangat baik dan menghamba jika di perlakukan baik namun akan sangat marah jika dikecewakan atau dibohongi. Perbedaan budaya pada dua komunitas ini melahirkan perbedaan pemaknaan tentang kehidupan masing masiang . Etnis Dayak menyatakan bahwa Orang Madura telah melanggar batas-batas nilai mereka dan Etnis Madura menganggap hal tersebut biasa bagi mereka. (Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politi Kebudayaan, 2004)
Dilihat dari latar belakang diatas, terdapat permasalahan terkait adanya miskoordinasi pemaknaan simbol identitas antara etnis Madura dan Dayak. Kasus ini menarik jika dikaji menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik. Mengapa bisa terjadi kerusuhan antar etnis sehingga terjadinya titik kulminasi konflik Madura dan Dayak pada kerusuhan Sampit.

Sub Bahasan Lanjutan: 
- Keterkaitan Konflik Etnis Samit dengan Teori Interaksionisme Simbolik
- Riwayat Konflik
- Karakter Budaya Masyarakat Madura
- Karakter Budaya Masyarakat Dayak

Daftar Pustaka:

Hendro Suroyo Sudagung. 2001. Mengurai Pertikaian Etnis: Migrasi Swakarsa Etnis Madura ke Kalimantan Barat. ISAI. Jakarta:.
Ibrahim, Ourida. 2009. Dayak Kalimantan Timur Sebuah Perjalanan. PT. Gheanata Cahaya Abadi, Jakarta.
Craib, Ian. 1986. Teori-Teori Sosial Modern: Dari Parsons Sampai Habermas. PT. Rajawali, Jakarta.
Lawang, Robert MZ. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern,. PT, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Maunati, Yekni. 2004. Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. LKIS , Yogyakarta
Wawa, jannes Eudes, 12 April 2001. Dari Sanggau Ledo Hingga Sampit.. Kompas. Jakarta

Referensi Internet:

Seto Wahyu, Indiawan. 2007. Tinjauan Teori Interaksionisme Simbolik Pada Kerusuhan Sampit. (http://indiwan.blogspot.com/2007/09/tinjauan-teori-interaksionis-simbolik.html)
Laporan LMMDDKT.2001. Kersuhan Sampit. (http://danarbasket.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_20.pdf)
International Crisis Group (ICG). 2001. Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran Dari Kalimantan. (http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/Indonesian%20translations/Communal%20Violence%20in%20Indonesia%20Lessons%20from%20Kalimantan%20indonesian%20version.ashx)

Sketsa